SURABAYA - Belakangan ini, istilah “gundik” kembali viral di media sosial. Kata ini sering digunakan untuk menyindir perempuan yang terlibat dalam hubungan dengan pria yang sudah beristri, namun sebenarnya, gundik bukan hanya istilah modern yang muncul sebagai tren di dunia maya. Istilah ini memiliki sejarah panjang dan makna yang lebih kompleks yang berkaitan dengan struktur sosial dan kekuasaan di masa lalu.
Asal Usul Istilah “Gundik”
Baca juga: Scroll Terus, Kok Hati Nggak Tenang? Ini Sisi Gelap Media Sosial yang Jarang Dibahas
Pada masa kolonial Hindia Belanda, istilah “gundik” digunakan untuk menyebut perempuan pribumi yang menjadi pasangan tidak resmi bagi pria Eropa, Baik pejabat kolonial, pengusaha, maupun orang kaya Belanda. Karena pernikahan campuran antara orang Eropa dan pribumi sangat dibatasi oleh sistem kolonial, banyak pria Belanda yang memilih untuk menjadikan perempuan pribumi sebagai gundik. Mereka hidup bersama, memiliki anak, namun tidak ada ikatan hukum atau status sosial yang diakui secara resmi.
Posisi para gundik ini sangat terbatas. Meskipun mereka bisa menikmati hidup dengan fasilitas tertentu dan kadang punya pengaruh dalam kehidupan pria yang menjadi pasangan mereka, mereka tetap tidak punya hak hukum yang sah, terutama terkait harta, anak, atau status sosial. Relasi ini pun sangat timpang, di mana perempuan sering berada dalam posisi yang lemah dan tidak memiliki pilihan lain.
Gundik dalam Konteks Sosial
Setelah masa kolonial, istilah “gundik” perlahan berkembang, namun tetap membawa konotasi negatif. Saat ini, istilah ini lebih sering dikaitkan dengan selingkuhan atau pelakor, sebutan untuk perempuan yang terlibat dalam hubungan dengan pria yang sudah memiliki pasangan resmi. Meski begitu, penggunaan kata ini seringkali mengabaikan konteks sosial dan sejarah yang melatarbelakanginya. Banyak yang hanya memandangnya sebagai hinaan, tanpa memahami lapisan makna yang lebih dalam.
Baca juga: Apa Itu NPD? Mengenal Gangguan Kepribadian Narsistik Secara Mendalam
Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun konteksnya berubah, makna sosial istilah ini tetap dipenuhi dengan nilai-nilai ketidaksetaraan dan relasi kuasa, baik di masa lalu maupun sekarang. Penggunaan kata “gundik” sering kali bertujuan untuk merendahkan atau menghakimi perempuan, tanpa melihat alasan dan dinamika yang terjadi dalam hubungan tersebut.
Kenapa Istilah Ini Kembali Viral?
Fenomena penggunaan istilah “gundik” di media sosial mencerminkan bagaimana isyu relasi kuasa dan peran perempuan dalam hubungan masih terus dibicarakan, meskipun dengan cara yang berbeda. Dalam beberapa tahun terakhir, masalah seperti perselingkuhan, hubungan tidak sehat, dan ketimpangan gender semakin banyak dibahas. Istilah “gundik” yang muncul kembali di media sosial bisa jadi mencerminkan bagaimana kita masih terjebak dalam penghakiman sosial yang sering kali tidak adil.
Baca juga: Cara Memulai Bisnis dengan Modal Kecil tapi Potensi Besar
Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun sering digunakan dalam sindiran atau ejekan, gundik bukan hanya sekadar istilah untuk perempuan yang “merebut” pria beristri. Kata ini menyimpan banyak cerita tentang ketidaksetaraan sosial dan relasi kekuasaan yang ada pada masa lalu, yang ternyata masih relevan jika kita lihat dari perspektif gender dan sosial saat ini.
Istilah “gundik” mungkin sudah sering kita dengar atau gunakan dalam perbincangan sehari-hari, terutama di media sosial. Namun, sebelum menggunakan kata ini untuk menyindir atau mengejek orang lain, ada baiknya kita merenung sejenak. Menggunakan kata ini tanpa memahami konteks sejarah dan sosial di baliknya bisa memperkuat stigma negatif terhadap perempuan.
Sebagai masyarakat yang semakin maju dan sadar akan pentingnya kesetaraan gender, sudah saatnya kita lebih bijak dalam memilih kata-kata yang kita gunakan. Sebab, meskipun kata “gundik” sering dianggap remeh, ia menyimpan lapisan makna yang harus kita pahami dengan bijaksana.
Editor : Redaksi