SURABAYA, Tikta.id - Hari Anak Sedunia yang baru saja berlalu pada bulan November menjadi pengingat bagi kita untuk tetap waspada dalam melindungi kesehatan dan kesejahteraan anak-anak Indonesia, terutama terkait dengan penyakit yang menyebabkan kecacatan dan mengancam nyawa seperti polio.
Itulah salah satu saran yang disampaikan oleh Hartono Gunardi, Kepala Satuan Tugas Imunisasi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), saat acara diskusi dengan media baru-baru ini.
Baca juga: DPRD Surabaya Sosialisasi Vaksinasi Polio Harus Masif hingga RT/RW
Polio pada umumnya berdampak pada anak-anak di bawah usia 5 tahun. Virus polio menyerang sistem saraf dan menyebabkan kelumpuhan yang tidak dapat dipulihkan dalam hitungan hari. Satu dari 200 infeksi akan menyebabkan kelumpuhan permanen, dan 5-10% dari mereka yang lumpuh dapat meninggal ketika otot pernapasan mereka menjadi tidak bergerak.
Dalam perjuangan melawan polio, ada banyak hal yang dapat kita banggakan untuk Indonesia. Penyertaan vaksin polio dalam Program Imunisasi Rutin (EPI, sekarang Program Imunisasi Esensial) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1974 memacu banyak negara untuk secara resmi dinyatakan 'bebas polio' dalam beberapa tahun berikutnya.
Indonesia, sama halnya, berusaha untuk mencapai status bebas polio – bukan tugas yang mudah mengingat ukuran negara kita dan jumlah penduduknya.
Pada tahun 1995, Indonesia memulai kampanye vaksinasi nasional melawan polio. "Pekan Imunisasi Nasional (PIN)" dilaksanakan pada tahun 1995, 1996, dan 1997. Untuk mencapai tujuan pemberantasan polio, PIN kembali dilaksanakan pada tahun 2002.
Namun, pada April 2005, program pemberantasan polio Indonesia mengalami kemunduran ketika Laboratorium Polio Nasional di Bandung mengkonfirmasi adanya poliovirus liar tipe 1 yang diisolasi dari spesimen tinja seorang kasus kelumpuhan dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lebih banyak kasus juga diidentifikasi di pulau-pulau Sumatera dan Jawa.
Imunisasi massal dilakukan terhadap anak-anak sepanjang tahun tersebut di pulau-pulau ini dalam beberapa kesempatan. Upaya membawa hasil yang baik. Kasus terakhir polio yang ditemukan di Indonesia adalah pada Februari 2006, dan pada tahun 2014, bersama dengan semua negara lain di Asia Tenggara, WHO menyatakan Indonesia bebas polio.
Namun, kesuksesan dalam mengatasi polio di masa lalu membuat banyak orang tidak menyadari konsekuensi serius dari infeksi polio. Selain itu, banyak pula kesalahpahaman yang menganggap bahwa status 'bebas polio' menjamin kekebalan terhadap wabah ini di masa depan. Padahal pengendalian polio jauh lebih kompleks daripada penyakit menular lainnya, seperti cacar. Virus polio dapat bertahan di lingkungan sekitar dan mudah menyebar. Oleh karena itu, vaksinasi harus terus dilakukan dan masyarakat harus tetap waspada agar tidak kehilangan pencapaian yang telah diraih dalam beberapa dekade terakhir.
Baca juga: Bebas Polio, Dinkes Jatim Mulai Putaran Kedua Sub Pekan Imunisasi Nasional
Hal ini menjadi jelas pada November 2022, ketika virus polio terdeteksi pada seorang anak laki-laki berusia 7 tahun yang menderita kelumpuhan sebagian di provinsi Aceh dekat Sigli, Indonesia. Sejak itu, tiga kasus tambahan terdeteksi di Pidie Jaya, dan pada Maret 2023, Kementerian Kesehatan Indonesia memberi tahu WHO tentang deteksi poliovirus tipe 2 yang berasal dari vaksin yang beredar (cVDPV2) pada seorang perempuan berusia 48 bulan dengan AFP dari Kabupaten Purwakarta di Jawa Barat. Temuan ini pun menunjukkan bahwa virus telah menyebar di masyarakat.
Secara keseluruhan, sejak bulan November 2022, Indonesia telah mengalami 11 kasus polio (4 di Aceh, 7 di Jawa Barat) dan, sayangnya, dua kasus kelumpuhan (1 di Aceh dan 1 di Jawa Barat).
Sesuai rekomendasi dari WHO dan Kelompok Penasihat Teknis Imunisasi Indonesia (ITAGI), pemerintah Indonesia telah meluncurkan kampanye imunisasi nasional dengan dosis kedua Vaksin Polio Inaktif (IPV2) sebagai bentuk perlindungan optimal bagi anak-anak di Indonesia terhadap polio. Pengenalan IPV2 bertujuan untuk melengkapi rangkaian dosis imunisasi polio yang diperlukan (enam dosis secara total, dengan dua dosis menggunakan IPV), dan juga untuk memperkuat program imunisasi nasional secara keseluruhan.
IPV2 diberikan melalui suntikan. Seperti vaksinasi lainnya, reaksi umum dapat mencakup kemerahan dan pembengkakan di tempat suntikan. Namun, reaksi-reaksi ini hanya bersifat sementara dan biasanya akan sembuh dengan sendirinya.
Meskipun polio dapat mengakibatkan kecacatan dan mengancam jiwa, dan bahkan dengan pengenalan program imunisasi nasional dengan IPV2, cakupan vaksin polio di Indonesia tetap rendah. Tingkat keseluruhan Indonesia untuk dosis IPV pertama (IPV1) adalah 29,1% - jauh di bawah tingkat yang direkomendasikan oleh WHO sebesar 95%. Di distrik-distrik yang terdampak seperti Aceh, tingkat vaksinasi tetap lebih rendah, yaitu 7,3% untuk IPV1 dan 0,5% untuk IPV2.
Baca juga: Sasar Ratusan Siswa, Polresta Banyuangi Gelar Imunisasi Polio di 20 Titik
Maka dari itu, untuk mempertahankan status bebas polio negara dan memastikan cakupan imunisasi polio yang lebih luas, seluruh lapisan masyarakat dapat berkontribusi, antara lain dengan cara berikut ini :
1. Orang tua segera mengimunisasi anak-anak dan berbicara dengan dokter untuk mendapatkan informasi berbasis bukti.
2. Dokter mendukung orang tua dan pengasuh untuk mengimunisasi anak-anak.
3. Pemimpin masyarakat, pemimpin agama, dan anggota masyarakat lainnya memastikan berbagi informasi tentang polio dan vaksin dengan bertanggung jawab dan akurat.
Editor : Redaksi