Menelisik kepercayaan Generasi muda kekinian yang sering disebut “Gen Z” itu, generasi yang tumbuh di tengah paradoks. Mereka adalah generasi yang paling terhubung, paling teredukasi, dan paling terdorong untuk mencapai kesuksesan.
Perpustakaan ilmu, self-help, dan motivational content ada di ujung jari mereka. Namun, di balik keriuhan kultur budaya generasi muda saat ini, tersimpan sebuah ironi yang getir: mereka juga adalah generasi yang paling rentan mengalami krisis kepercayaan diri dan kecemasan.
Baca juga: Maladministrasi: 'Kanker Kronis' yang Membunuh Pelayanan Publik
Krisis ini bukan sekadar rasa malu sesaat, melainkan kondisi sistemik yang dipicu oleh tiga kekuatan besar: Media Sosial, Budaya Perbandingan, dan Tekanan Ekspektasi.
Titik hulu dari krisis ini hampir selalu bermula dari Media Sosial. Platform-platform digital, yang seharusnya menjadi ruang koneksi, justru bertransformasi menjadi galeri kesempurnaan artifisial.
Pemuda hari ini menyaksikan potongan-potongan hidup yang telah disaring, diedit, dan dikurasi mulai dari glow-up fisik, pencapaian karir yang "instan", hingga perjalanan liburan yang mewah.
Setiap unggahan adalah "kartu laporan" publik tentang kebahagiaan dan kesuksesan. Akibatnya, pemuda terjebak dalam lingkaran setan yang disebut Budaya Perbandingan (Social Comparison).
Rasa "tidak cukup" muncul karena adanya kesenjangan yang tidak realistis (digital self discrepancy) antara realitas hidup mereka yang penuh perjuangan dan citra ideal yang dipamerkan di layar. Mereka mulai membandingkan behind-the-scenes hidup mereka dengan highlight reel orang lain.
Ironisnya, semakin sering mereka mencari motivasi atau inspirasi secara daring, semakin besar pula kemungkinan mereka terpapar perbandingan yang berujung pada penilaian diri yang negatif.
Krisis Kepercayaan Diri
Budaya perbandingan dapat melahirkan sindrom massal: Fear of Missing Out (FOMO). FOMO bukan hanya takut ketinggalan pesta, tetapi takut kehilangan kesempatan untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka seperti yang orang lain (tampaknya) sudah capai.
Rasa cemas ini memaksa mereka untuk terus online, terus mengecek tren, dan terus-menerus mencoba menjadi "sesuatu" agar tidak terpinggirkan, baik secara sosial maupun karir.
Alih-alih mendapatkan kepercayaan diri, mereka malah terjebak dalam upaya validasi eksternal yang tak pernah terpuaskan. Krisis ini diperparah oleh tekanan ekspektasi ganda.
Pertama, tekanan dari generasi sebelumnya yang menuntut mereka untuk sukses dengan parameter lama (misalnya, punya pekerjaan tetap, rumah, dan mobil).
Baca juga: Menolak Klaim Primordial, Mengakhiri Isu Rasis, dan Mengokohkan Gotong Royong Arek Suroboyo
Kedua, tekanan internal untuk memenuhi standar yang diciptakan oleh creator economy yaitu menjadi otentik, unik, kreatif, dan menghasilkan uang dari passion.
Tuntutan untuk "menemukan passion" sedini mungkin justru menciptakan beban psikologis yang luar biasa. Jika seorang pemuda belum "menemukan" dirinya atau belum "sukses" sebelum usia 25 tahun, ia dianggap tertinggal atau gagal.
Padahal, masa muda seharusnya menjadi ruang eksplorasi, bukan perlombaan lari cepat menuju kesempurnaan. Lalu, bagaimana jalan keluar dari pusaran krisis kepercayaan diri ini?
Langkah pertama adalah Mengganti FOMO dengan JOMO (Joy of Missing Out). JOMO adalah kesadaran dan kepuasan untuk menikmati momen yang ada tanpa perlu membandingkannya dengan apa yang orang lain lakukan.
Ini adalah tindakan sadar untuk membatasi konsumsi konten yang tidak memberikan nilai positif, dan belajar mengapresiasi perjalanan pribadi.
Literasi digital dan kesehatan mental harus menjadi kurikulum esensial, mengajarkan pemuda untuk menyaring informasi, mengenali post-truth, dan memahami bahwa kesempurnaan hanyalah hasil editing.
Kedua, Definisi Ulang 'Sukses'. Pemuda perlu didorong untuk membangun metrik keberhasilan internal. Kepercayaan diri sejati tidak datang dari jumlah likes atau pengakuan publik, melainkan dari kompetensi diri (self-efficacy) dan kemampuan untuk mengatasi tantangan.
Baca juga: Reog Sudah Mendunia, Giliran Kita yang Harus Bergerak
Ketiga, Membangun Komunitas Otentik dan Dukungan Sosial Nyata. Krisis kepercayaan diri seringkali membuat pemuda mengisolasi diri atau hanya berinteraksi di dunia maya.
Kelompok dukungan sosial, baik di kampus, tempat kerja, atau komunitas minat, yang menekankan pada kerentanan (vulnerability) dan kejujuran emosional, sangat dibutuhkan.
Perjuangan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan adalah bagian normal dari proses pendewasaan, dan bukan aib yang harus disembunyikan.
Krisis kepercayaan diri adalah panggilan keras bagi seluruh ekosistem keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat. Kita tidak bisa hanya menuntut pemuda untuk berprestasi tanpa membekali mereka dengan ketahanan mental.
Kepercayaan diri bukan lagi bawaan lahir, melainkan keterampilan yang harus dilatih dan ditumbuhkan di tengah hiruk pikuk ekspektasi digital. Pemuda adalah masa depan, dan masa depan itu hanya bisa dibangun oleh generasi yang percaya pada nilai dan potensi dirinya sendiri, terlepas dari apa pun yang mereka lihat di layar, majulah terus pemuda harapan bangsa Indonesia tercinta.
*)Oleh: Sofatul Anam, Penulis Wakil Ketua Gerakan Literasi Nganjuk dan Pengurus di IGINOS
Editor : Redaksi