JAKARTA - Di permukaan, gedung bertingkat itu tampak sempurna. Tinggi, kokoh, futuristik simbol modernitas yang menjanjikan kenyamanan dan kehidupan mandiri. Tapi “High-Rise”, film adaptasi dari novel J.G. Ballard, justru menguliti absurditas peradaban dari balik dinding beton dan lift mewah. Disutradarai oleh Ben Wheatley, film ini menyuguhkan alegori sosial yang gelap dan menggugah, dibungkus dalam estetika 1970-an yang menggoda sekaligus mengganggu.
Pengenalan Tokoh dan Latar
Baca Juga: Ketakutan yang Menggerogoti, Teror Psikologis dalam “Bunker”
Dr. Robert Laing (Tom Hiddleston) seorang dokter muda yang pindah ke apartemen mewah pencakar langit di pinggiran kota London. Ia mencari ketenangan, identitas baru, dan mungkin pelarian dari dunia yang penuh tuntutan. Tapi ketika ingin menemukan kedamaian, Laing malah menyaksikan sendiri bagaimana bangunan yang dibangun untuk menyatukan, perlahan-lahan justru memisahkan.
Di lantai atas, para elit hidup mewah dan tak terganggu, dipimpin oleh arsitek bangunan, Anthony Royal (Jeremy Irons), yang tinggal bersama sang istri di penthouse layaknya raja. Sementara di lantai bawah, warga biasa berjuang untuk akses terhadap fasilitas yang makin terbatas. Perbedaan kelas di dalam gedung makin tajam, menciptakan ledakan sosial yang tak terhindarkan.
Konflik: Dari Ketenangan ke Kekacauan
Apa jadinya jika sebuah bangunan menyatukan semua kebutuhan hidup tapi tak menyediakan keadilan di dalamnya? Ketika listrik padam, lift rusak, dan makanan mulai langka, penghuni mulai menunjukkan sisi liar mereka. Kekacauan perlahan merayap: pesta berubah jadi kerusuhan, solidaritas berubah jadi pengkhianatan.
Dr. Laing berada di tengah-tengahnya, mencoba bertahan di antara egoisme kelas atas dan amarah kelas bawah. Sementara karakter lain seperti Charlotte Melville (Sienna Miller) dan Richard Wilder (Luke Evans) tampil sebagai simbol kegelisahan dan perlawanan dari kelompok yang terpinggirkan.
Karakter dan Perubahan
Baca Juga: Ketakutan yang Menggerogoti, Teror Psikologis dalam “Bunker”
Tom Hiddleston memerankan Laing dengan kekosongan yang misterius karakter yang tak pernah benar-benar berpihak tapi pelan-pelan tergerus oleh absurditas lingkungan sekitarnya. Sementara Jeremy Irons hadir sebagai arsitek yang kehilangan kendali atas ciptaannya sendiri, seperti Frankenstein terhadap monsternya.
Konflik kelas bukan hanya menjadi latar, tapi juga menyusup ke dalam identitas setiap tokoh: siapa yang tetap rasional, siapa yang menyerah pada kekuasaan, dan siapa yang memilih hancur bersama sistem.
Resolusi dan Konklusi
“High-Rise” tidak menawarkan penyelesaian yang rapi. Kekacauan mencapai puncaknya dan menyisakan kerusakan bukan hanya pada bangunan, tapi pada struktur sosial dan psikologis penghuninya. Di akhir, yang tersisa bukan kemenangan, tapi kehampaan.
Baca Juga: “To Live” Bertahan dalam Gelombang Sejarah dan Luka Kehidupan
Namun di balik itu semua, film ini menyodorkan refleksi keras bahwa kemewahan tanpa keadilan hanya menunda kehancuran. Dan bahwa sistem, sebaik apa pun dirancang, akan runtuh jika kesetaraan diabaikan.
Pesan Moral
“High-Rise” mengajak penonton berpikir ulang soal modernitas: Apakah kita membangun tempat tinggal atau menumpuk ego di antara lantai-lantai kaca? Bahwa ketika ketimpangan dibiarkan tumbuh dalam ruang tertutup, yang terjadi bukan kebersamaan melainkan perlombaan menuju kehancuran.
Film ini mungkin tidak untuk semua orang, tapi bagi mereka yang ingin menyelami kritik sosial dengan gaya visual yang kuat, “High-Rise” adalah pengalaman sinematik yang tajam, aneh, dan memikat dalam cara yang tak biasa.
Editor : Redaksi