JAKARTA - Usia berjalan pelan-pelan. Kadang tanpa sadar, angka di KTP sudah makin besar, tapi hati terasa masih sama: resah, cemas, dan terus merasa kurang. Padahal secara logika, umur yang bertambah harusnya membawa kita dewasa bijaksana. Tapi nyatanya, banyak dari kita justru makin sibuk mengejar hal-hal duniawi, sampai lupa cara menikmati hidup (hari ini).
Makin dewasa, justru makin banyak kekhawatiran. Tentang masa depan yang belum pasti, tentang pencapaian yang belum cukup, atau hanya takut tertinggal dari orang lain. Semua itu sah-sah saja, asal tidak membuat kita hilang arah.
Baca juga: Terjabak Gengsi dan Terikat Duniawi, Pemikiran Tidak Matang: Dewasa Rasa Anak-anak
Mungkin delapan faktor ini bisa membantu Sahabat Tikta memahami kenapa keresahan itu muncul.
1. Terlalu Banyak Bandingkan Diri
Sosial media sering kali menjadi panggung pamer yang tanpa sadar mengikis rasa syukur. Kita lihat teman menikah, punya rumah, jalan-jalan ke luar negeri lalu mulai bertanya pada diri sendiri, “Kapan aku bisa seperti itu?” Padahal yang kita lihat hanya potongan paling manis dari hidup orang lain. Kita enggak pernah benar-benar tahu apa yang sedang mereka perjuangkan di balik layar.
Perbandingan yang terus-menerus membuat kita kehilangan fokus pada perjalanan pribadi. Kita jadi sibuk mengejar versi hidup orang lain, bukan merayakan versi terbaik dari diri sendiri. Lama-lama, standar bahagia jadi kabur. Ukurannya bukan lagi ketenangan hati, tapi jumlah likes dan pencapaian yang bisa dipamerkan.
2. Ambisi yang Enggak Dihibur Tujuan
Punya ambisi itu baik. Ia jadi bahan bakar untuk maju. Tapi kalau ambisi enggak punya arah, yang ada justru bikin kita kelelahan. Kita terus bergerak, tapi enggak tahu mau ke mana. Ujung-ujungnya, capek secara fisik dan hampa secara batin.
Kadang, kita terlalu terobsesi ingin “lebih” tanpa berhenti sejenak dan bertanya: “Untuk apa semua ini?” Hidup bukan hanya lari cepat, tapi juga soal tahu kapan harus melambat dan menikmati pemandangan. Kalau tujuan hidup cuma untuk mengejar validasi, mungkin itu saatnya kita mengubah haluan.
3. Takut Gagal
Makin dewasa, makin besar rasa takut gagal. Mungkin karena tanggung jawab juga makin banyak. Ada pekerjaan yang harus dijaga, keluarga yang jadi sandaran, dan harapan yang menggantung. Rasanya seperti enggak ada ruang buat salah. Sekali jatuh, bisa berantakan semua.
Tapi yang sering kita lupa, gagal itu bagian dari tumbuh. Enggak semua rencana harus berhasil. Kadang kegagalan justru jadi jalan pintas menuju pemahaman yang lebih dalam soal diri sendiri. Menerima kegagalan bukan berarti menyerah, tapi memberi ruang untuk belajar dan mencoba lagi, dengan cara yang lebih bijak.
4. Terlalu Fokus pada Materi
Hidup di era yang serba cepat dan serba mahal bikin kita mudah terjebak dalam kejaran materi. Uang jadi simbol keberhasilan, kekayaan jadi ukuran kebahagiaan. Padahal, kenyamanan yang dibeli belum tentu bisa menenangkan jiwa.
Materi memang penting, tapi ketika semuanya diukur dengan angka, yang lahir hanyalah kekosongan. Kita terus merasa kurang, terus membandingkan, dan terus mengejar. Sampai lupa bahwa kadang, hal-hal kecil seperti waktu luang, tawa teman, dan tidur nyenyak jauh lebih mahal nilainya.
Baca juga: Mental Matang, Rahasia Tetap Tenang Saat Kamu Direndahkan Orang Lain
5. Lingkungan yang Minim Dukungan
Hidup tanpa lingkaran yang sehat bisa bikin kita merasa sendiri, bahkan ketika dikelilingi banyak orang. Kita butuh ruang untuk bicara tanpa takut dihakimi, didengar tanpa buru-buru disuruh “sabar”. Tapi enggak semua orang punya tempat itu.
Lingkungan yang tidak suportif bisa memperbesar rasa cemas. Kita jadi memendam, menumpuk, dan akhirnya meledak sendiri. Padahal, kadang cukup satu orang yang hadir tanpa menggurui untuk membuat hati sedikit lebih lega. Maka penting untuk memilih siapa yang layak kita beri akses ke ruang terdalam dari diri kita.
6. Kurang Terhubung dengan Diri Sendiri
Di tengah kesibukan mengejar ini-itu, kita sering lupa untuk duduk tenang dan bertanya pada diri sendiri: “Apa kabar hati hari ini?” Kita terlalu sibuk menyenangkan orang lain, menyesuaikan diri dengan harapan luar, sampai kehilangan koneksi dengan apa yang benar-benar kita butuhkan.
Hubungan paling panjang dalam hidup adalah hubungan dengan diri sendiri. Kalau itu saja renggang, jangan heran kalau kita merasa kosong, bingung, dan kehilangan arah. Maka penting untuk menyediakan waktu, walau sebentar, untuk menyapa diri sendiri dengan jujur dan lembut.
7. Tumpukan Penyesalan
Baca juga: Mengenali Tanda-tanda Hubungan Toxic dan Cara Menghadapinya
Semakin bertambah usia, semakin banyak keputusan yang pernah diambil. Tidak semuanya berjalan mulus. Ada yang berujung pada penyesalan. Mungkin karena salah langkah, salah memilih orang, atau terlalu lama bertahan di tempat yang salah.
Penyesalan adalah bagian dari hidup, tapi membiarkannya menumpuk tanpa diurai hanya akan membuat langkah kita makin berat. Yang sudah lewat, biarlah jadi pelajaran. Kita tak harus terus menyalahkan diri. Kadang, yang paling kita butuhkan hanyalah memaafkan diri sendiri, dan mulai lagi dengan lebih ringan.
8. Lupa Bahwa Semua Sudah Ada yang Mengatur
Kita terlalu sering merasa harus mengendalikan segalanya. Padahal, ada hal-hal yang memang bukan wilayah kita untuk atur. Kekhawatiran berlebihan muncul saat kita lupa bahwa hidup ini juga tentang percaya bahwa setiap orang punya waktunya, dan setiap perjalanan punya jalannya sendiri-sendiri.
Melepaskan bukan berarti menyerah, tapi memberi ruang bagi takdir untuk bekerja. Saat kita belajar menerima bahwa tidak semua bisa dipaksakan, di situlah kedamaian perlahan datang. Hidup bukan soal siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang paling bisa menikmati perjalanan.
Catatan: Bertambah usia bukan berarti harus makin tenggelam dalam cemas dan ambisi. Justru, di titik ini, kita punya kesempatan untuk lebih mengenal diri, memeluk kekurangan, dan hidup dengan lebih sadar.
Dunia akan terus berlari, tapi bukan berarti kita harus ikut berlari sampai lupa arah. Kadang, berhenti sebentar dan bertanya pada hati, adalah cara paling bijak untuk tetap waras di dunia yang serba cepat.
Editor : Redaksi