JAKARTA — Sleeping Beauty debut sutradara Julia Leigh, adaptasi novel miliknya, yang mempertanyakan batas antara rasa bangga dan keheningan batin. Film ini bukan tentang dongeng romantis, melainkan mimpi buruk erotis yang mendorong kita mempertanyakan motif relasi dan nilai kemanusiaan.
Tokoh & Setting
Baca juga: The Girl Next Door (2004): Saat Cinta dan Tabu Menabrak Dunia Sebuah Kota Kecil
Lucy (Emily Browning): Mahasiswi pendiam, bekerja serabutan untuk membiayai kuliahnya. Ketika tergoda tawaran bergaji besar, ia mengambil pekerjaan sebagai "Sleeping Beauty" ia tidur dalam keadaan tertidur dan dibiarkan dicumbui serta disentuh oleh pria kaya yang hadir di kamarnya (bukan penetration).
Clara (Rachael Blake): Mistryus madam yang menawarkan layanan ini sosok yang dingin sekaligus posesif, menyimbolkan kekuasaan patriarki dalam bentuk bisnis nilai tubuh .
Konflik & Nuansa Psikologis
Lucy memilih mengorbankan dirinya bukan untuk cinta atau pembebasan, melainkan karena ketidakpedulian kebutuhan uang dan kebosanan eksistensial yang membuatnya merasa selalu terlelap secara emosional. Saat klien mulai menyalahkan kekosongan tubuhnya, ketegangan mencuat: siapa yang benar-benar berada dalam kontrol?
Dialog film sengaja terkesan kaku, mirip softcore klasik namun bukan untuk membujuk. Malah menciptakan jarak, seolah penonton diundang menjadi voyeur terhadap objek mati hidup Lucy. Atmosfer ini menciptakan rasa tidak nyaman yang bukan tanpa tujuan .
Estetika & Eksekusi Sinematik
Kamera jarang bergerak, frame statis panjang, dan pencahayaan pucat menciptakan zona artefak klinis gelap bukan karena malam, tapi karena hilangnya kehangatan hidup manusiawi.
Visual pastel, netral, dan jarak antara penonton dan tokoh utama memperkuat aura alienasi dan kontrol tanpa kata. Focus pada detail fedora tua, selimut putih, suara napas pelan saat Lucy tidur—semua terkomposisi dengan chill surreal.
Baca juga: “A Shop for Killers” Ketika Toko Warisan Menjadi Arena Berdarah
Tiga Tema & Pesan Utama
1. Objektifikasi dan Kontrol dalam Diam
Lucy menjadi simbol: walaupun tidak aktif bertindak melawan, tubuhnya tetap dijadikan objek dan tiap sentuhan mempertebal rasa ketidakberdayaan.
2. Ketidaksadaran sebagai Bentuk Perlindungan dan Penyerahan
Tidur jadi tempat aman yang aneh Lucy menyerahkan diri sepenuhnya, meski sadar akan risiko emosional.
Baca juga: Cordelia: Ketika Cinta Menjadi Bayangan di Flat London
3. Estetika sebagai Kritik Sosial
Visual indah bukan untuk mempesona, melainkan memberi jarak. Agar rasa bangga dan objektivasi dalam film ini terasa janggal mengundang kritik dari penonton atas struktur dominasi tersamar.
Catatan
Sleeping Beauty bukan tontonan glamor. Ia adalah ritual teater suram tentang keheningan, kekosongan, dan bagaimana keindahan bisa kehilangan makna.
Editor : Redaksi