Urgensi Hijrah Dari Budaya Korupsi Menuju Budaya Anti Korupsi (Refleksi 1 Muharram 1447 H)

Reporter : Eric SP
Firman Syah Ali

SURABAYA - Alhamdulillah hari ini kita memasuki tahun baru 1447 Hijriyah dengan semangat yang luar biasa untuk menjalani kehidupan, ibadah dan akhlak yang jauh lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.

Cahaya islam telah hadir di muka bumi selama satu milenium lebih, bahkan sudah hampir satu setengah milenium, yang ditandai dengan hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Sedangkan nusantara baru menerima cahaya islam secara masif pada abad ke-13 atau 8 abad yang lalu, yang ditandai dengan islamisasi masif oleh Walisongo.

Baca juga: Gubernur Jawa Timur Terseret Kasus Dugaan Korupsi, MAKI Jatim: Kami Siap Kawal Ibunda Khofifah

Selama delapan abad masyarakat nusantara beriman dan berislam tentu banyak sekali nilai kebaikan yang ditanamkan dan dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Namun ada satu hal yang tentu saja memerlukan semangat hijrah yang luar biasa sebagaimana semangat hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah, yaitu budaya yang tidak baik atau budaya negatif yang tumbuh di tengah-tengah umat.

Budaya Belum Tentu Positif

Budaya adalah kompleksitas mindset, attitude, value, norma, adat istiadat, kepercayaan, kesenian dan segala produk cipta, rasa dan karsa manusia yang menjadi karakteristik suatu komunitas sosial dan diwariskan dari generasi ke generasi (sustainable).

Sebagai produk interaksi sosial tentu tidak semua budaya baik, ada juga budaya yang tidak baik, seperti budaya konsumtif, budaya individualistik, budaya apatis, budaya bisnis ilegal, budaya materialistik, budaya pola hidup tidak sehat, kecanduan gadget dan lain-lain.

Karena budaya terdiri dari budaya positif dan negatif, maka penting bagi masing-masing komunitas sosial untuk senantiasa melakukan transformasi budaya dari budaya negatif menjadi budaya positif. Transformasi budaya tersebut dapat kita bungkus dengan istilah hijrah, karena hijrah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tentu saja bukan hanya hijrah fisik.

Budaya Korupsi Di Indonesia

Indonesia adalah negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di bawah rata-rata global bahkan di bawah rata-rata asia pasifik, ini tentu sangat ironis mengingat bangsa kita dikenal sebagai bangsa berketuhanan, setidaknya tercantum dalam sebuah lirik lagu Rhoma Irama. 

Indeks yang menyedihkan ini semakin terkapar tak berdaya ketika sebuah LSM Internasional terpercaya bernama Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) merilis nama salah satu tokoh Indonesia sebagai nominator tokoh terkorup di dunia tahun 2024.

Belum selesai masalah nominator tokoh terkorup 2024 versi OCCRP, muncul lagi rilis Bank Dunia bahwa 60,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.

Tentu saja rilis OCCRP dan Bank Dunia di atas menimbulkan pro kontra di tanah air. Namun penulis tidak sedang ingin terlibat dalam pro kontra tersebut, penulis hanya ingin menggarisbawahi bahwa negara kita saat ini sedang punya masalah kemiskinan dan korupsi.

Penelusuran sejarah bangsa menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi budaya turun temurun nusantara sejak era kerajaan kuno, kolonial Belanda dan jepang hingga era kemerdekaan. Tentu saja pada masa lalu masih bernama upeti belum bernama korupsi.

Budaya negatif yang diwariskan dari generasi ke generasi ini berurat berakar di dalam segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara hingga sulit sekali untuk diberantas.

Beberapa waktu lalu kita menyaksikan koruptor dimakamkan secara terhormat seuai adat istiadat reliji setempat yang penuh keagungan. Disusul kejadian jenazah koruptor dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dan banyak lagi kejadian lainnya yang menunjukkan masyarakat Indonesia tidak menganggap korupsi sebagai sesuatu yang negatif, atau sebuah aib yang harus diberi sanksi sosial.

Dalam praktek politik elektoral terpampang di depan mata kita di siang bolong, pelaku korupsi begitu dihormati dan dicintai oleh masyarakat sehingga selalu terpilih dengan perolehan suara signifikan dalam berbagai even pemilihan baik pilkada maupun pileg.

Baca juga: Kejari Tanjung Perak Tetapkan 2 Tersangka Dugaan Korupsi Pengadaan Ikan Fiktif di PT Perindo Surabay

Terkadang bukan koruptornya sendiri yang mejadi kandidat, tapi salah satu anggota keluarganya atau kader kesayangan dan kepercayaannya dalam birokrasi maupun dalam Parpol. Dan animo masyarakat sangat tinggi, mereka beramai-ramai memenangkannya.

Perlakuan masyarakat terhadap terduga kuat koruptor juga tidak jauh beda dengan perlakuan mereka terhadap koruptor. Tokoh atau pejabat yang patut diduga kuat merupakan pelaku korupsi sangat dihormati oleh masyarakat, tetap diberi privilege dan perlakuan-perlakuan terhormat lainnya yang membuat pelestari perbuatan korupsi semakin merasa nyaman.

Betul juga adagium kuno yang menyatakan bahwa pemimpin merupakan cerminan masyarakatnya, pemimpin adalah produk selera masyarakat. Dengan demikian, pemimpin yang korup tentu saja lahir di tengah-tengah masyarakat yang membudayakan dan mencintai korupsi.

Hijrah Dari Budaya Korupsi Menuju Budaya Anti Korupsi

Dalam situasi masyarakat yang sudah sedemikian apresiasif dan permisifnya terhadap korupsi tentu tidak ada jalan lain kecuali melalukan hijrah dari budaya korupsi menuju budaya anti korupsi.

Hijrah dari budaya korupsi menuju budaya anti korupsi tentu harus diawali dengan pembangunan kesadaran kolektif akan buruknya perilaku korup. Dengan tumbuhnya kesadaran kolektif tersebut, maka sanksi otonom tegak. Efek jera dari sanksi otonom jauh lebih efektif daripada sanksi heteronom. Tentu saja tokoh agama sebaiknya terlibat aktif dalam pembangunan kesadaran kolektif tersebut.

Setelah terbangun kesadaran kolektif, para stake holder sebaiknya duduk satu meja menyusun rencana aksi transformasi budaya korupsi menjadi budaya anti korupsi. Rencana ini harus matang dan mengandung mitigasi yang signifikan.

Rencana aksi tersebut harus dilaksanakan secara konsisten oleh pemimpin. Faktor kepemimpinan tersebut sangat penting terutama terkait pemberian teladan (role model). Kalau pemimpinnya memberi contoh korupsi atau permisif terhadap koruptor, atau bahkan dirinya tidak segera mundur walau sudah terindikasi kuat melakukan korupsi, maka pemimpin-pemimpin dibawahnya juga akan seperti itu dan masyarakatpun menerima dengan baik.

Baca juga: Demonstrasi DKP Jatim, GPM Soroti Dugaan Korupsi, Nepotisme dan Pemborosan Anggaran

Berikutnya jangan lupa untuk dilakukan pendidikan dan pelatihan anti korupsi secara berkala di lingkungan birokrasi, parlemen, parpol, ormas bahkan LSM, sebab pemicu keserakahan belum tentu dari birokrasi. Diklat-diklat efektif tersebut harus didanai oleh pemerintah dengan melibatkan tokoh-tokoh berintegritas. Kalau yang dilibatkan tokoh tidak berintegritas, maka sama saja dengan menyapu lantai kotor menggunakan sapu kotor.

Metode partisipatoris tentu penting dalam proses transformasi budaya tersebut. Masyarakat jangan hanya dijadikan penonton pasif, libatkan mereka secara aktif dan interaktif dalam semua tahapan transformasi di atas, sehingga mereka punya rasa prihatin yang sama dan rasa eman yang sama terhadap negara.

Tahap paling akhir dari transformasi tersebut adalah monitoring, evaluasi dan penyesuaian. Hijrah atau transformasi tanpa evaluasi berkala tentu berpotensi infeketif.

Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghogur

Dengan berhasilnya hijrah budaya dari budaya korupsi menjadi budaya anti korupsi maka negara kita akan tumbuh normal kembali sesuai dengan cita-cita Bapak Pendiri Bangsa.

Dengan semangat 1 Muharram 1447 Hijriyah mari kita mulai langkah besar ini dengan membangun kesadaran kolektif tentang buruknya korupsi. Jangan sampai kita pura-pura anti korupsi padahal sebetulnya sedang antri korupsi.

Dengan cita-cita bersama dan langkah bersama in sya Allah sejak tahun 1447 Hijriyah negara kita menjadi baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.

*) Oleh: Firman Syah Ali Majelis Pakar IKA PMII Jatim

Editor : Redaksi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru