SURABAYA – Komisi D DPRD Kota Surabaya menggelar rapat dengar pendapat (hearing) bersama Kelompok Tani Benteng Samudra, Selasa (28/10).
Hearing ini dilakukan untuk mencari solusi atas keberatan warga Kedung Cowek terhadap pembangunan Sekolah Rakyat di atas lahan produktif milik warga.
Baca juga: DPRD Surabaya Targetkan Pembahasan Raperda RPPLH Rampung Dua Pekan
Ketua RW 01 Kelurahan Kedung Cowek, Witono Adi, menegaskan bahwa warga pada dasarnya tidak menolak pembangunan Sekolah Rakyat. Namun, yang menjadi keberatan adalah lokasi pembangunan yang berada di lahan pertanian produktif.
“Sebenarnya warga ini simpel, Mas. Intinya, warga butuh makan, butuh lahan pertanian tetap berjalan seperti biasa. Kami tidak mempermasalahkan pembangunan Sekolah Rakyat, tapi keberatan jika lahan produktif dijadikan lokasi pembangunan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti adanya bangunan yang tidak digunakan didepan lahan milik Pemkot tersebut. “Di depan mata kami ada bangunan non-produktif yang luas dan megah, tapi kenapa tidak digunakan?” katanya heran.
Witono berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut agar tidak bertentangan dengan program utama Pemkot, yakni ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan.
Baca juga: Hikmah Bafaqih: Negara Harus Hadir untuk Guru Swasta dan Madrasah Diniyah
“Kalau lahan produktif ini dipaksakan untuk pembangunan sekolah, dua program besar bisa terlewat, yaitu ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Akmarawita Kadir, menjelaskan bahwa pihaknya meminta dinas terkait agar aktivitas petani tidak diganggu terlebih dahulu sampai solusi terbaik ditemukan.
“Dewan tadi meminta agar para petani yang masih menggarap lahan atau menunggu panen sebisa mungkin tidak diganggu dulu, supaya mata pencaharian mereka tidak terganggu sambil menunggu solusi,” jelasnya politisi asal Partai Golkar.
Baca juga: Sumpah Pemuda Momentum Bagi Generasi Z Surabaya untuk Berani Berinovasi
Ia menambahkan, ada beberapa alternatif solusi yang bisa dipertimbangkan.
“Solusinya bisa dengan menggeser lokasi pembangunan, atau memberikan lahan produktif pengganti di tempat lain. Setelah Sekolah Rakyat selesai dibangun pada 2026, warga sekitar juga bisa dilibatkan bekerja di lingkungan sekolah, misalnya sebagai tukang kebun, petugas keamanan, dan lainnya,” paparnya.
Akmarawita menegaskan, bahwa DPRD berharap Pemerintah Kota berkoordinasi dengan baik bersama para petani untuk mencapai kesepakatan yang adil. “Intinya, warga tidak menolak Sekolah Rakyat, hanya meminta agar lokasinya digeser. Namun, keputusan akhir tetap berada di Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Editor : Redaksi