SURABAYA - "Sumpah Pemuda" merupakan momen ketika kaum muda, tanpa modal apalagi kuasa, berani merumuskan ulang identitas bangsa. Mereka adalah arsitek pertama negara-bangsa ini. Namun, ironisnya, nyala harapan revolusioner itu kini justru dipadamkan perlahan-lahan oleh generasi yang lebih tua yang dulunya revolusioner, kini konservatif.
Sumpah itu lahir dari yang muda karena usia tua cenderung memandang dunia sebagai sesuatu yang harus dipertahankan dari perubahan, bukan diperjuangkan untuk progresivitas.
Baca Juga: Kobarkan Semangat Persatuan, Rutan Pemalang Gelar Upacara Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97
Karl Mannheim mendefinisikan generasi muda bukan sekadar selisih tahun, melainkan unit historis yang lahir dari kesadaran sosial atas kegagalan sistem yang berkuasa. Struktur sosial kita dirawat secara kultural, diam-diam atau terang-terangan, agar yang muda "tahu tempatnya"—diam, tidak menyanggah, dan tidak mendahului.
Aturan tidak tertulis ini bukan sekadar soal etika, melainkan mekanisme ‘preservasi kekuasaan’. Ini adalah sistem yang dibangun untuk mengamankan kenyamanan dan hegemoni generasi yang lebih dulu berkuasa.
Paulo Freire menyebut fenomena ini sebagai sistem yang mendomestikasi, atau secara lugas disebut sebagai "pendidikan gaya bank" (banking concept of education).
Dalam model ini, pikiran kaum muda dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan "kebenaran" dari kaum tua. Dampaknya dapat fatal: ia menumpulkan daya kritis, mematikan dialog, dan melatih generasi penerus untuk menjadi subjek pasif, bukan agen perubahan yang berani.
Konsekuensi dari domestikasi kultural ini, Sumpah Pemuda pun tereduksi menjadi sekadar ‘Ritual Oktober’ yang diperingati dengan seremonial belaka, kehilangan ruh aslinya sebagai spirit untuk merombak distribusi kuasa. Ia hanya dijadikan narasi sejarah pemersatu, tanpa pernah dibahas sebagai manifesto politik-kultural kaum muda untuk mendeklarasikan entitas baru yang menolak kekuasaan lama.
Hal ini bukan soal umur semata, bukan juga tentang penghormatan tradisi, tetapi murni tentang relasi kuasa yang timpang. Ketika seorang anak muda mengemukakan ide yang radikal atau berbeda, penolakan yang diterima seringkali dibungkus rapi dengan alasan "belum pengalaman" atau "tidak tahu sopan santun," padahal intinya adalah upaya pengekangan terhadap potensi pergeseran kekuatan.
Oleh karena itu, pahlawan sejati dalam konteks pembangunan bangsa adalah mereka (khususnya kaum tua) yang berani menyerahkan panggung kekuasaan, atau setidaknya, berani berbagi ruang dan otoritas. Tindakan etis ini memerlukan kebesaran jiwa untuk menerima bahwa ide-ide baru mungkin akan membuat metode lama menjadi usang, dan bahwa masa depan harus dibangun dengan blue print yang berbeda dari masa kini.
Transisi generasi yang autentik adalah keputusan etis yang melibatkan kesadaran penuh: siapa yang bersedia mendengarkan pemikiran baru yang disruptif, dan siapa yang dengan sengaja enggan mewariskan ketidakadilan struktural hanya demi melestarikan status dan kontrol pribadi.
Kualitas kepahlawanan bukan terletak pada berapa lama seseorang menjabat (ini cara pandang yang cupet), melainkan pada kemauan untuk mendidik generasi berikutnya menjadi lebih tangguh dan merdeka, bukan lebih patuh.
Baca Juga: Refleksi Sumpah Pemuda 2025: Menjaga Kemewahan Terakhir Seorang Pemuda
Inilah mengapa Sumpah Pemuda tetap relevan, bahkan lebih mendesak di masa kini. Ia jelas bukan sekadar monumen masa lalu yang kisahnya telah usai dan hanya layak dikenang dalam upacara formal.
Meskipun ikrar persatuan telah diucapkan dengan lantang pada tahun 1928, pekerjaan mendasar untuk merombak tatanan dan sistem yang secara struktural menghambat partisipasi kritis masyarakat, khususnya kaum muda, belumlah tuntas.
Warisan dari ikrar agung itu harus dihidupkan kembali bukan sebagai seruan nostalgia, melainkan sebagai mandat yang belum selesai.
Semangat konsientisasi sebuah proses penyadaran kritis terhadap realitas sosial dan politik yang diilhami oleh pemikiran Paulo Freire hendaknya menjadi senjata intelektual dan moral utama kaum muda saat ini.
Kesadaran kritis inilah yang memberdayakan mereka untuk tidak hanya menerima keadaan, tetapi untuk secara aktif menuntut penyerahan kuasa dan ruang pengambilan keputusan yang masih sering dimonopoli.
Baca Juga: Menjelang Hari Sumpah Pemuda, DPRD Surabaya Dorong Gen Z Wujudkan Mimpi Kota
Keengganan banyak tangan, yang sudah terlalu lama berkuasa, untuk melepaskan genggaman eratnya atas kekuasaan bukanlah hal sepele; ia adalah penundaan kemerdekaan sejati yang menghalangi terwujudnya masyarakat adil dan beradab.
Oleh karena itu, kaum muda tidak boleh lagi hanya puas dengan peran pasif, menunggu giliran atau diizinkan berpartisipasi sebatas formalitas. Mereka harus secara tegas mengambil peran sebagai subjek utama yang berdaulat, yang menggerakkan dan merampungkan janji etis kebangsaan.
Relevansi Sumpah Pemuda terletak pada panggilan abadi untuk terus berjuang melawan stagnasi dan ketidakadilan, memastikan bahwa suara kritis dan energi perubahan generasi muda menjadi kekuatan sentral dalam menentukan arah masa depan bangsa.
Dinoyo-Malang, 2025
*)Oleh: Mochamad Chazienul Ulum
Editor : Redaksi