Mengurai Beban Kesepian, Melawan Rasa Hampa

Reporter : Ika chairani
Mochamad Chazienul Ulum

Di Indonesia, fenomena kesepian cukup signifikan, dengan sekitar 19,98 persen orang mengatakan bahwa mereka merasa kesepian setidaknya sekali seminggu, menurut survei Litbang Kompas (2025).

Banyak hal yang menyebabkan kesepian ini, seperti kesibukan pekerjaan atau kuliah, kecanduan media sosial, kehilangan orang terdekat, dan kurangnya koneksi sosial yang kuat.

Baca juga: Refleksi Hari Guru: Antara Penghormatan Formal dan Pengabaian Substansial

Hal ini dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental, serta menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.

‘Kesepian’, kata yang membawa beban emosional yang berat. Rasanya tidak nyaman (discomfort), meskipun kita mungkin dikelilingi banyak orang. Kesepian sejati jauh melampaui sekadar ketiadaan teman; ini adalah rasa terputus yang mendalam, hilangnya koneksi emosional yang vital.

Koneksi tidak datang secara pasif; ia harus diciptakan dan dirawat. Melalui latihan kesadaran, kita mulai mengenali pemicu kesepian (loneliness trigger) dan mengelola respons internal kita, alih-alih membiarkan perasaan tersebut mengambil alih.

Dengan mempraktikkan kesadaran, keaslian, dan keberanian kecil secara rutin, kita dapat bergerak melampaui rasa hampa dari kesepian.

Kita mulai menyadari bahwa hidup adalah tentang tumbuh dan berbagi. Ini membawa kita menuju kehidupan yang terasa jauh lebih terkoneksi dan bermakna, di mana kita tidak hanya survive namun benar-benar berkembang, menemukan kepenuhan dalam interaksi dan kehadiran kita di dunia.

Kesepian merupakan hambatan bagi kebahagiaan. Membangun dan merawat hubungan sosial yang hangat dan bermakna adalah salah satu faktor prediktif yang kuat untuk kepuasan hidup. Suatu solusi untuk kesepian secara intrinsik akan terkait dengan peningkatan kebahagiaan.

Di sisi lain, di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan tuntutan media sosial yang tanpa henti sebuah lingkungan yang kerap menciptakan fomo (ketakutan akan ketinggalan) dan perbandingan sosial yang merusak isu kesejahteraan (well-being) telah menjelma menjadi salah satu fenomena sosial paling dominan.

Keseimbangan telah menjadi komoditas langka, dan pencarian akan kedamaian batin menjadi sebuah aksi kolektif yang mendesak, ditandai dengan peningkatan minat terhadap meditasi, mindfulness, dan kesehatan mental.

Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh karya Martin Seligman dan Teori Kesejahteraannya, yang secara ilmiah menggeser fokus psikologi dari mengatasi penyakit mental menjadi membangun kekuatan manusia.

Seligman menyajikan formula yang lebih luas dan terukur dari kebahagiaan sejati, yang dikenal sebagai model ‘PERMA’.

Model ini memberikan kerangka kerja yang operasional dan dapat ditindaklanjuti untuk mencapai kehidupan yang jauh melampaui definisi kebahagiaan yang dangkal, dan menawarkan peta jalan bagi individu, institusi, hingga pemerintah dalam menumbuhkan kualitas hidup yang berkelanjutan di era ini.

Baca juga: Jalan Tol Memulihkan Publik Trust

Model ‘PERMA’ mengajukan bahwa kesejahteraan yang autentik dicapai melalui lima elemen inti. Pertama adalah positive emotion (emosi positif). Ini mencakup perasaan gembira, damai, harapan, dan kepuasan yang kita alami setiap hari. Emosi positif berfungsi sebagai bantalan mental yang memperluas pola pikir dan tindakan kita, memungkinkan kita menjadi lebih kreatif dan adaptif.

Namun, hidup bukan hanya tentang tawa sesaat. Fondasi kesejahteraan yang lebih dalam terletak pada relationship (hubungan). Manusia adalah makhluk sosial, dan penelitian menunjukkan bahwa ikatan sosial yang kuat, penuh kasih, dan saling mendukung adalah prediktor tunggal terbaik untuk umur panjang dan kepuasan hidup.

Di era di mana koneksi digital sering menggantikan interaksi tatap muka yang autentik, interaksi-hubungan yang tulus dan bermakna menjadi tindakan etis dan esensial.

Selanjutnya, kesejahteraan ditopang oleh meaning (makna). Makna muncul ketika kita melayani sesuatu yang kita yakini lebih besar ketimbang diri kita sendiri, entah itu melalui pekerjaan, spiritualitas, atau kontribusi sosial. Rasa bahwa hidup kita memiliki tujuan yang lebih tinggi memberikan ketahanan dan perspektif saat menghadapi kesulitan.

Di sinilah banyak individu berjuang, mencari alasan yang lebih kuat untuk bangun di pagi hari selain sekadar tugas rutin.

Lalu, accomplishment (pemenuhan) merujuk pada upaya proaktif yang dilakukan untuk meraih tujuan, mencapai penguasaan keterampilan, atau menggapai keberhasilan tertentu.

Ketika kita berhasil mengatasi tantangan dan melihat hasil nyata dari usaha kita, hal ini secara langsung menumbuhkan rasa harga diri dan memberikan kepuasan.

Baca juga: Bandung Tanpa Nakhoda: Ketika Kekuasaan Diperjualbelikan di Balai Kota

Pemenuhan diri ini membentuk siklus positif di mana kompetensi menghasilkan pencapaian, dan pencapaian kemudian memperkaya harga diri, serta memicu dorongan lebih lanjut untuk menjadi lebih efektif.

Fenomena sosial kekinian menempatkan kesejahteraan sebagai pusat atensi. Ini secara tegas menunjukkan adanya pergeseran paradigma kolektif yang mendalam.

Kita hendaknya bergerak dari budaya yang secara pasif hanya berfokus pada mengatasi defisit, menuju sebuah etos baru yang secara aktif mengupayakan perkembangan dan pemeliharaan kebahagiaan sejati. 

Transformasi ini mencerminkan pengakuan bahwa kehidupan yang bermakna tidak cukup hanya dengan tidak sakit atau tidak bangkrut; manusia saat ini menuntut lebih, yaitu kemampuan untuk berkembang optimal dan mencapai potensi penuhnya.

Kini kebahagiaan (dan kesejahteraan) dipandang sebagai prasyarat bagi produktivitas, inovasi, dan stabilitas sosial. Investasi pada kebahagiaan adalah investasi pada masa depan yang berkelanjutan.

*)Oleh: Mochamad Chazienul Ulum, Dosen Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang

Editor : Redaksi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru