Hari Guru Nasional yang diperingati setiap 25 November selalu membawa aroma yang sama: upacara bendera, sambutan pejabat, tumpeng, bunga, dan sederet ucapan selamat dari akun-akun resmi pemerintah di media sosial.
Pada 25 November 2025 ini, sekali lagi kita menyaksikan ritual tahunan yang sama. Guru dipuji sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, “penggerak peradaban”, hingga “agen perubahan”.
Baca Juga: Mengurai Beban Kesepian, Melawan Rasa Hampa
Namun, ketika lampu sorot upacara padam dan bunga layu di meja guru, realitas yang dihadapi jutaan pendidik di Indonesia justru berbanding terbalik dengan retorika indah tersebut.
Penghormatan formal yang diberikan negara kepada guru setiap tahun terasa semakin kosong ketika kita membentangkannya dengan fakta lapangan yang terus berulang: ribuan guru honorer masih bergaji di bawah upah minimum kabupaten/kota, tunjangan profesi guru yang kerap tertunda pencairannya, sarana prasarana sekolah yang memprihatinkan, serta beban administratif yang terus harus di pikul di pundak mereka.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) per Oktober 2025 mencatat masih terdapat sekitar 700.000 guru honorer di seluruh Indonesia yang belum mendapatkan kepastian status kepegawaian.
Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 250.000 orang yang berhasil lolos seleksi PPPK dalam tiga tahun terakhir. Artinya, lebih dari setengah juta guru tetap hidup dalam ketidakpastian, dengan gaji rata-rata antara Rp500.000 hingga Rp2.000.000 per bulan, tergantung “belas kasih” kepala sekolah atau yayasan.
Mereka inilah yang setiap pagi tetap berdiri di depan kelas, mengajar 24–36 jam pelajaran per minggu, sering kali tanpa jaminan kesehatan dan pensiun.
Di sisi lain, kebijakan “Merdeka Belajar” yang digulirkan sejak 2020 dan dimutakhirkan hingga 2025 justru menambah beban baru bagi guru. Platform Merdeka Mengajar (PMM), Rapor Pendidikan, Asesmen Kompetensi Madrasah (AKM), dan berbagai aplikasi pelaporan lainnya menuntut guru untuk menjadi manusia sakti mandraguna, ditengah keterbatasan fasilitas yang di berikan pemerintah, ia di paksa untuk menjadi “guru digital” dalam waktu singkat, tanpa persiapan matang dan tanpa tambahan insentif yang memadai. Banyak guru, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), harus menggunakan kuota pribadi, bahkan meminjam gawai siswa, hanya untuk mengunggah laporan yang sering kali tidak pernah dibaca oleh pengambil kebijakan di pusat.
Ironisnya, di saat guru diminta “merdeka” dalam mengajar, kebebasan itu justru tercekat oleh target administratif yang kaku. Guru harus membuat modul ajar, melakukan diferensiasi, mengisi e-rapor, mengunggah bukti karya di PMM, dan tetap mengejar ketuntasan kurikulum semua dalam waktu yang sama dengan sebelum kurikulum ini lahir.
Baca Juga: Jalan Tol Memulihkan Publik Trust
Hasilnya? Guru kelelahan, siswa kebingungan, dan kualitas pembelajaran tidak serta merta meningkat secara signifikan.
Kesejahteraan guru, yang seharusnya menjadi prasyarat utama bagi peningkatan mutu pendidikan, masih diperlakukan sebagai “bonus”, bukan hak. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dengan tegas menyatakan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Namun, setelah dua dekade, janji itu masih terasa seperti puisi yang indah tapi tak pernah diwujudkan sepenuhnya. Kita tidak anti terhadap penghormatan. Kita hanya meminta agar penghormatan itu tidak berhenti pada kata-kata dan bunga plastik.
Hormat yang sejati kepada guru adalah ketika negara berani mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN secara riil (bukan hanya janji di atas kertas), menyelesaikan masalah guru honorer secara bertahap tapi pasti, memberikan tunjangan kinerja yang layak bagi guru swasta, serta mengurangi beban birokrasi yang tidak esensial.
Di Hari Guru 2025 ini, mari kita sama-sama merenung: apakah layak kita terus menyebut guru sebagai pahlawan, sementara kita masih membiarkan mereka berjuang sendirian di medan perang yang kita ciptakan sendiri? Penghormatan yang tulus tidak cukup diucapkan di mimbar upacara.
Baca Juga: Bandung Tanpa Nakhoda: Ketika Kekuasaan Diperjualbelikan di Balai Kota
Ia harus diwujudkan dalam kebijakan yang berpihak, dalam anggaran yang cukup, dan dalam kepastian masa depan bagi setiap insan pendidik.
Selamat Hari Guru, para pejuang sejati. Maaf karena hingga kini negara masih sering kali hanya mampu memberikan bunga, bukan keadilan.
Semoga di tahun-tahun mendatang, penghormatan kita tidak lagi terbelah antara kata dan perbuatan, antara upacara dan kebijakan, antara formalitas dan substansi. Karena sesungguhnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati gurunya — bukan hanya dengan kata, tetapi dengan tindakan nyata.
*)Oleh: Fakhrur Rozhiy, Dosen salah satu kampus swasta di Surabaya
Editor : Redaksi