SURABAYA – Konflik kepemilikan lahan di Perumahan Gunung Sari Indah antara warga dan pengembang PT Agra Paripurna terus berlanjut. Sengketa ini dipicu oleh klaim kepemilikan lahan di pintu masuk utama perumahan oleh Salim Bahmit, yang mengacu pada Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 2947. Rencana penutupan akses jalan dengan pemasangan pagar beton oleh Salim semakin memanaskan situasi.
Menanggapi permasalahan ini, Komisi A DPRD Surabaya menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Rabu (19/2) siang. Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan LPMK Kedurus, Lurah Kedurus, Camat Karang Pilang, bagian hukum Pemkot Surabaya, dan juga Pimpinan PT Agra Paripurna, serta beberapa dinas terkait untuk mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan konflik.
Baca Juga: Bus Trans Semanggi Ugal-ugalan, Anggota DPRD Surabaya Angkat Bicara
Dalam pernyataannya, Salim Bahmit menjelaskan bahwa pihaknya telah menyediakan lahan seluas 1,1 hektare di sebelah timur waduk sebagai bentuk kompensasi. Namun, ia menegaskan bahwa lahan 5.000 m² yang dijanjikan bukan merupakan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU), melainkan murni pemberian dari pihak pengembang.
"Nantinya, lahan seluas 5.000 m² akan kami serahkan kepada warga. Itu bukan PSU, melainkan murni hibah dari kami. Namun, karena proses legalitasnya belum selesai, penyerahannya masih tertunda," ujar Salim Bahmit.
Salim juga menyampaikan keberatannya terkait lahan dengan SHM Nomor 2947, yang menurutnya ada upaya pihak tertentu untuk menjadikannya sebagai fasilitas umum (fasum).
"Pemilik tanah bertanya, apakah tanah ini sudah terjual? Jika sudah, mengapa belum dibayar? Mereka merasa ditipu dan meminta agar tanah tersebut dikembalikan. Sekali lagi, ini bukan fasum, tidak ada dalam site plan fasum, tetapi ada pihak yang berusaha memaksakan statusnya menjadi fasum. Kami juga butuh keadilan," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, menekankan pentingnya kejelasan dalam kesepakatan antara warga dan pengembang agar masalah serupa tidak terulang di masa mendatang. Ia mengingatkan bahwa setiap perjanjian harus memenuhi prinsip smart spesifik, terukur, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Baca Juga: DPRD Surabaya Sahkan RTRW 2025-2045, Fraksi PKS Beri Catatan Khusus
“Ini juga menjadi edukasi bagi masyarakat bahwa kesepakatan antara warga dan pengembang harus dibuat secara tertulis agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari,” jelasnya.
Permintaan warga Kedurus, yang diwakili oleh LPMK, agar lahan 5.000 m² tersebut digunakan untuk fasilitas umum seperti lapangan olahraga, sarana pendidikan, dan fasilitas sosial lainnya, terpisah dari PSU yang merupakan tanggung jawab pengembang.
“5.000 m² yang dimaksud seharusnya sesuai dengan keinginan warga, yaitu untuk lapangan olahraga, fasilitas pendidikan, dan lainnya,” ujar Yona.
Namun, dalam hearing tersebut, muncul permasalahan terkait ketidakjelasan lokasi lahan 5.000 m² yang dijanjikan pengembang. Hingga saat ini, titik koordinat lahan tersebut belum disampaikan secara rinci.
Baca Juga: Antisipasi Peredaran Miras Daring, DPRD Surabaya Dorong Penguatan Pengawasan
“Sepanjang hearing tadi, belum ada kejelasan mengenai lokasi lahan 5.000 m² yang dijanjikan. Warga pun tidak menyampaikan permintaan kompensasi dalam bentuk yang detail. Dari pihak DPRKPP juga menyatakan bahwa tidak ada titik koordinat yang jelas,” tambahnya.
Meski demikian, terdapat perkembangan positif dari pihak pengembang. PT Agra Paripurna, yang diwakili oleh Salim Bahmit, menyatakan kesediaannya untuk tetap memberikan lahan tersebut dalam bentuk hibah murni. Namun, mekanisme penyerahan lahan masih perlu dibahas lebih lanjut, apakah akan diserahkan langsung kepada warga atau melalui hibah kepada Pemkot Surabaya untuk kepentingan pembangunan fasilitas umum bagi warga Kelurahan Kedurus.
“Yang penting dalam pertemuan kali ini, pihak pengembang telah menyanggupi untuk memberikan kompensasi lahan 5.000 m² sebagaimana yang telah disepakati dalam pertemuan sebelumnya,” pungkas Yona.
Editor : Redaksi