Eri Cahyadi: Transformasi Surabaya atau Sekadar Janji Manis?

Hari Agung Bendahara BARIKADE 98 Jawa Timur
Hari Agung Bendahara BARIKADE 98 Jawa Timur

SURABAYA - Bayangkan Surabaya sebagai kota masa depan: parkir minimarket bebas pungli, pelajar bebas pekerjaan rumah (PR), dan Mobile Legends menjadi ekstrakurikuler resmi di sekolah. Inilah sebagian visi Wali Kota Eri Cahyadi sebuah gambaran kota yang tertib, sejahtera, dan modern. Namun di balik pencapaian yang diklaim gemilang, muncul pertanyaan kritis: benarkah ini transformasi nyata atau sekadar manis di permukaan?

Prestasi yang Tak Bisa Dikesampingkan

Baca Juga: Sweeping Jam Malam, Wali Kota Eri Bikin Haru Saat Video Call Orang Tua Anak

Di atas kertas, Eri Cahyadi punya “rapor” mentereng. Data Pemkot Surabaya menyebutkan:

- Tingkat kemiskinan turun dari 5,1% (2021) menjadi 3,9%

- Stunting merosot tajam dari 28,9% menjadi hanya 1,6%

- Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 84,69%, tertinggi di Jawa Timur

Program andalan seperti Sekolah Arek Suroboyo (SAS) menghapus PR, memajukan jam masuk sekolah menjadi 06.30 WIB, hingga mengenalkan ekstrakurikuler kekinian seperti Mobile Legends. Yusuf, siswa SDN Kaliasin I, mengaku, “Bebas PR bikin aku bisa latihan karawitan. Sekarang ada Mobile Legends pula!”

Respons netizen pun ramai. Akun @arek_sby menulis di X: “E-sport di sekolah? Keren, Eri ngerti anak muda!” Selain itu, program “Satu Rumah Satu Sarjana” dan bantuan UMKM dinilai berhasil menaikkan pendapatan per kapita Surabaya sebesar 5,76%.

Antara Gebrakan dan Kontroversi

Namun, transformasi tidak selalu mulus. Sejumlah kebijakan menuai pro-kontra tajam di publik.

1. Penertiban Parkir Liar

Berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2018, Eri menggencarkan penertiban juru parkir liar di depan minimarket. Tujuannya jelas: hilangkan pungli. Tapi langkah ini memicu reaksi keras, termasuk dari Aprindo Jatim. Pasalnya, penyegelan minimarket dianggap merugikan pelaku usaha kecil. Komentar @surabaya_citizen di X menohok: “Tegas sih, tapi pengusaha kecil jadi korban.”

2. Jam Malam Anak

Per 1 Juli 2025, Surabaya menerapkan jam malam bagi anak-anak usia di bawah 18 tahun, dari pukul 22.00–04.00 WIB. Meski didukung 97,05% responden polling Suara Surabaya, kebijakan ini dikeluhkan pelatih seni dan komunitas budaya.

“Anak karawitan yang latihan malam jadi susah gara-gara ini,” keluh seorang pelatih di media sosial.

3. Mobile Legends: Inovatif, tapi Berisiko dan Tak Merata

Ekstrakurikuler Mobile Legends di sekolah memang inovatif, bahkan mendapat banyak pujian dari generasi muda. Namun, tak bisa diabaikan bahwa program ini menyimpan potensi dampak kesehatan serius jika tak diiringi edukasi yang tepat.

Studi WHO (2023) menyebutkan bahwa penggunaan gadget berlebihan pada anak bisa menyebabkan:
- Gangguan mata (seperti miopi) hingga 20% kasus

- Gangguan tidur

- Kecanduan game yang dialami 10–15% remaja

Keluhan pun muncul dari para orang tua. Akun @ortu_sby menulis di X, “Anakku main Mobile Legends di sekolah, pulang malah lanjut sampai malam, mata merah!”

Selain soal kesehatan, ada juga ketimpangan fasilitas. Banyak sekolah pinggiran di Surabaya yang masih kesulitan dalam hal gadget, koneksi internet, bahkan pelatih e-sport. Sementara sekolah elite bisa langsung jalan, sekolah lain tertinggal jauh.

Karena itu, program Mobile Legends harus dibarengi dengan:

- Edukasi literasi digital dan kesehatan: seperti batas waktu main (1–2 jam per hari sesuai anjuran WHO), teknik peregangan mata (20-20-20 rule), hingga penggunaan pelindung layar.

- Penyediaan infrastruktur merata: internet cepat, perangkat gaming dasar, dan pelatihan guru agar semua sekolah bisa mengakses program ini secara adil.

Birokrasi: Predikat vs Realita

Baca Juga: Jam Malam Anak, Eri Cahyadi: Ini Bukan Hukuman, Tapi Kasih Sayang

Meski Pemkot Surabaya diganjar predikat “terbaik” dari MenPAN-RB soal pelayanan publik, keluhan warga tetap muncul, terutama di tingkat kelurahan soal bantuan sosial yang lambat dan tumpang tindih.

Mimpi Besar yang Perlu Eksekusi Cermat

Tak bisa dipungkiri, Eri Cahyadi membawa pendekatan yang segar dan progresif. Namun eksekusi kerap terkesan terburu-buru, kurang dialog, dan minim infrastruktur pendukung.

Beberapa catatan penting:

- Penertiban parkir butuh komunikasi dua arah dengan pengusaha, bukan sekadar segel dan sanksi.

- Jam malam harus fleksibel untuk kegiatan seni, budaya, hingga e-sport.

- Mobile Legends keren, tapi Pemkot wajib siapkan fasilitas: internet cepat, laptop, hingga pelatih bersertifikat.

- Birokrasi dan bantuan sosial butuh sistem terpadu agar tepat sasaran dan transparan.

Antara Gimmick dan Gerakan

Eri Cahyadi punya mimpi besar menjadikan Surabaya sebagai kota modern yang inklusif dan ramah generasi muda. Tapi mimpi ini hanya akan jadi gimmick bila tidak disertai konsolidasi lintas sektor dan pendampingan yang kuat. Dibutuhkan:

- Forum dialog publik untuk membahas kebijakan seperti jam malam dan penertiban parkir

- Dashboard transparansi terkait data kemiskinan dan distribusi bansos

- Pemetaan kebutuhan infrastruktur e-sport di sekolah secara menyeluruh

Baca Juga: Tur Literasi Jadi Gerakan Berkelanjutan, Eri Cahyadi: Ini Bukan Pertemuan Terakhir

Penutup: Dukungan Kritis untuk Masa Depan Surabaya

Wali Kota Eri Cahyadi jelas bukan pemimpin tanpa visi. Ia membawa pendekatan segar yang jarang ditemui dalam birokrasi daerah: memadukan inovasi teknologi, perhatian pada pendidikan, serta keberpihakan pada kelompok marginal. Langkah-langkah seperti ekstrakurikuler Mobile Legends, penghapusan PR, hingga program “Satu Rumah Satu Sarjana” menunjukkan upaya nyata menjawab zaman dan kebutuhan generasi muda.

Namun, inovasi tanpa kesiapan eksekusi bisa menjadi bumerang. Di satu sisi, kita melihat sekolah unggulan di pusat kota sudah bisa melaksanakan program e-sport dengan dukungan perangkat dan SDM. Tapi di sisi lain, sekolah-sekolah pinggiran masih berjuang dengan sinyal Wi-Fi dan satu proyektor untuk satu kelas. Di sisi ini, keadilan akses menjadi pekerjaan rumah serius.

Kritik terhadap kebijakan jam malam, penertiban parkir, dan pelayanan kelurahan juga mengindikasikan bahwa Surabaya tidak hanya butuh gebrakan tetapi juga pendekatan partisipatif. Masyarakat harus diajak bicara sebelum dilibatkan dalam regulasi yang menyentuh kehidupan sehari-hari.

Karena itu, transformasi Surabaya tak cukup hanya dengan angka statistik dan headline di media. Ia harus terasa dalam keadilan layanan publik, kualitas pendidikan di semua zona, dan ruang partisipasi bagi semua warga. Eri perlu menyeimbangkan langkah cepatnya dengan pijakan yang kuat di lapangan: mendengar guru di sekolah pinggiran, ngobrol dengan pengusaha kecil, dan menyapa komunitas seni yang latihan hingga malam.

Pemkot juga perlu membangun:

- Forum dialog terbuka, rutin dan lintas sektor

- Dashboard transparansi real-time untuk anggaran dan program strategis

- Instrumen pengawasan publik yang bisa diakses warga secara digital

Sebagai warga, kita patut mendukung pemimpin yang berani berinovasi. Tapi dalam demokrasi, dukungan tak berarti diam. Kita harus tetap bersuara, tetap mengkritik, tetap bertanya: untuk siapa kebijakan ini dibuat, siapa yang belum terjangkau, dan bagaimana agar semua warga dari anak sekolah hingga pedagang kecil bisa merasakan perubahan yang dijanjikan.

Karena Surabaya bukan sekadar kota dengan IPM tinggi atau gedung pencakar langit baru. Surabaya adalah rumah, dan rumah harus nyaman, adil, serta tumbuh bersama seluruh penghuninya.

*)Oleh: Hari Agung Bendahara BARIKADE 98 Jawa Timur

Editor : Redaksi