SURABAYA - Kita sudah sering lihat di media sosial entah di kolom komentar gosip selebriti, cerita perselingkuhan di TikTok, atau bahkan grup WhatsApp keluarga. Kalimat “pelakor memang pantas dihujat” muncul dengan penuh semangat. Tapi jarang ada yang bertanya: ke mana suara kemarahan terhadap laki-laki yang berkhianat?
Dalam budaya kita, sebutan “pelakor” perebut laki orang begitu cepat melekat pada perempuan yang menjalin hubungan dengan pria beristri. Ia jadi sosok antagonis yang langsung disalahkan, dihina, bahkan kadang dikutuk tanpa ampun. Sementara si pria, yang jelas-jelas juga terlibat, sering kali lolos dari sorotan tajam. Paling banter disebut “khilaf” atau “lemah iman”. Aneh, bukan?
Baca Juga: Mencegah Perselingkuhan di Tempat Kerja: Strategi Efektif untuk Menjaga Profesionalisme
Mengapa Hanya Perempuan yang Dibenci?
Ini bukan tentang membela pelakor, tapi tentang keadilan berpikir. Hubungan terlarang tidak bisa terjadi tanpa dua orang yang sepakat. Tapi dalam banyak kasus, beban kesalahan secara sosial ditumpahkan sepenuhnya kepada perempuan.
Masyarakat kita punya pola lama: perempuan harus menjaga moral, kesetiaan, dan kehormatan. Laki-laki? Seolah diberi ruang lebih besar untuk salah, seakan mereka memang "kodratnya" mudah tergoda.
Logika ini bukan hanya keliru, tapi juga berbahaya. Ia melanggengkan budaya patriarki di mana laki-laki bisa berbuat salah tanpa konsekuensi sosial sebesar perempuan. Padahal, yang menghancurkan komitmen pernikahan bukan hanya orang ketiga tapi laki-laki yang memilih tidak setia.
Laki-Laki Punya Kuasa, Perempuan Jadi Sasaran
Baca Juga: Selingkuh Virus Emosional yang Diam-Diam Menghancurkan Hubungan dan Mental
Dalam relasi seperti ini, laki-laki sering memegang kendali: mereka yang memulai, memberi harapan, menjanjikan perceraian, dan menggambarkan rumah tangga yang "sudah tidak harmonis". Perempuan yang masuk ke dalam hubungan tersebut terlepas dari niatnya sering hanya mendengar satu sisi cerita. Bukan berarti ia tak bersalah, tapi penting untuk melihat dinamika kuasa di dalamnya.
Di sisi lain, istri sah menjadi korban yang sering terpaksa melawan dua pihak sekaligus: suami yang berkhianat, dan perempuan yang diposisikan sebagai penggoda. Padahal, bila kita jujur, akar masalahnya sering berasal dari suami yang tidak jujur, tidak setia, dan tidak menghargai komitmen.
Budaya Menyalahkan Perempuan
Sejak dulu, perempuan terlalu sering disalahkan atas segala hal yang melibatkan seksualitas dan relasi. Dari kasus pelecehan hingga perselingkuhan, perempuan selalu lebih dulu diadili. Ini bukan sekadar soal etika pribadi, tapi juga tentang bagaimana masyarakat membentuk cara kita melihat salah dan benar.
Baca Juga: Sering Diselingkuhi Tapi Masih Bertahan, Kamu Tulus Apa Dibodohi?
Jika kita ingin adil, maka kita perlu mulai dari satu kesadaran penting: laki-laki yang sudah berkomitmen, lalu mengkhianatinya, memegang tanggung jawab utama dalam sebuah pengkhianatan. Pelakor bukan aktor utama, melainkan bagian dari cerita yang lebih kompleks.
Mungkin kita belum bisa menghapus sepenuhnya label “pelakor” dari perbincangan sehari-hari. Tapi setidaknya, kita bisa mulai mempertanyakan mengapa hanya perempuan yang dibenci? Dan kenapa laki-laki yang mengkhianati sumpahnya masih bisa dimaklumi?
Dalam urusan cinta, tidak ada yang hitam putih. Tapi dalam urusan komitmen, siapa yang mengingkari, harusnya yang paling dulu ditanya tanggung jawabnya.
Editor : Redaksi