Kepahlawanan Perguruan Tinggi Untuk Pengentasan Kemiskinan

Reporter : Redaksi
Dia Puspitasari

Oleh: Dia Puspitasari*

Menuju Indonesia Emas 2045, tantangan sosial terutama kemiskinan masih menganga, saatnya kepahlawan rakyat untuk mengatasinya. Negara semakin terbelenggu strategi pembangunan jangka pendek sehingga selalu memunculkan rakyat miskin sebagai residu.

BPS mencatat masih ada 25,9 juta orang miskin di Indonesia per akhir Maret 2023. Meski cukup banyak, namun sudah berkurang 460 ribu orang dibandingkan akhir September 2022 sebanyak 26,36 juta orang.

Kemiskinan tidak bisa ditangani oleh pemerintah saja,namun juga melibatkan berbagai stakeholder termasuk instansi pendidikan. Kampus sebagai representasi instansi Pendidikan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi wajib berkonstribusi pada penurunan angka kemiskinan.

Pengentasan kemiskinan harus dilakukan bersama-sama, dari mulai pemerintah, instansi pendidikan hingga masyarakat itu sendiri. Konsep feminisasi kemiskinan merupakan pertumbuhan populasi perempuan yang hidup di bawa garis kemiskinan secara bersama” (Moghadam 2005:7).

Pengentasan kemiskinan tanpa mengurai problem-problem khusus perempuan, maka akan tetap meninggalkan berjuta masyarakat miskin berjenis kelamin perempuan tetap berada dalam kubangan kemiskinan. Program Jalin Matra yang dicanangkan Provinsi Jawa Timur sejak 2018 menunjukkan bahwa keseriusan pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan di Jawa Timur.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) indeks ketimpangan gender di Indonesia pada 2022 menjadi 0,459, turun dibandingkan 2021 yang di level 0,465. Penurunan lebih tinggi terjadi dari 2020 yang berada pada posisi 0,472. Data indeks ini menunjukkan bahwa ketimpangan antara laki-laki dan perempuan semakin mengecil atau kesetaraan semakin membaik.

Berbanding terbalik dengan prevalensi kekerasan fisik dan atau seksual menurut latar belakang pendidikan. (BPS,2019) Kekerasan fisik dan atau seksual cenderung lebih rentan dialami perempuan berpendidikan tinggi (SMA ke atas). Sekitar 4 dari 10 (39,4%) perempuan berpendidikan tinggi mengalami kekerasan fisik dan atau seksual selama hidupnya. Sedangkan, pada perempuan berpendidikan rendah angka prevalensi kekerasan fisik dan atau seksual selama hidup lebih rendah yaitu 30,6% (3 dari 10).

Baca juga: Empat Dosen Muda Untag Surabaya ikuti Diklat Pancasila di UGM

Perbaikan indeks gender juga terlihat dari pendidikan. Di mana, persentase perempuan sekolah sampai jenjang minimal SMA meningkat. Artinya, dari data IKG bahwa melalui pendidikan menjadi salah satu strategi untuk memperbaiki akses, peluang dan ksempatan bagi perempuan dan laki-laki.

Pendidikan yang dilakukan dalam upaya penurunan angka kemiskinan melalui transfer of knowledge dilanjutkan dengan base on research sebagai pijakan dalam membuat rekomendasi kebijakan lalu pengabdian masyarakat misalnya melakukan edukasi terhadap mindset masyarakat.

Peguruan tinggi sebagai salah satu instansi pendidikan harus berperan aktif dalam menekan angka kekerasan berdimensi apapun. Hal ini tentunya menjadi konstribusi nyata bagi Bangsa dan Negara bahwa perguruan tinggi bukanlah ranah untuk mereproduksi kekerasan layaknya beberapa perguruan tinggi negeri ternama yang beberapa waktu lalu marak terjadi.

Dengan berpedoman pada 3 prinsip utama SDGs (Sustainable Development Goals) yang telah terejawantahkan dalam sebuah konsep Tri Dharma Peguruan Tinggi, diteguhkan dengan visi misi masing-masing perguruan tinggi. Dengan harapan bahwa seluruh civitas berperan secara aktif dalam mengentaskan berbagai problematika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimulai dari tataran kampus, regional, nasional hingga internasional.

Berdasarkan data Kementerian PPN/Bappenas melaporkan capaian SDGs Nasional pada 2023 menunjukkan 76% indikator SDGs di Indonesia telah tercapai, sisanya 24% belum tercapai dikarenakan faktor rendahnya partisipasi masyarakat. Di sinilah komitmen seluruh civitas akademika perlu ditunjukkan dalam mewujudkan visi misi perguruan tinggi, tentu dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

Setiap tahun tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Momentum ini untuk mengenang peristiwa pertempuran di Surabaya 78 tahun silam, memunculkan ingatan kolektif bangsa terhadap pengorbanan dan keberanian para pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Bukan sebatas ceremonial dalam mengenang jasa para pahlawan, tapi sebuah momentum untuk melakukan introspeksi kolektif atas kontribusi yang telah kita berikan pada bangsa.

Perguruan Tinggi sudah selayaknya mampu melahirkan generasi muda yang kritis berjiwa patriotik. Artinya, seluruh civitas akademika perguruan tinggi berkewajiban untuk berkonstribusi dalam mengatasi kemiskinan dan kebodohan di Bangsa Indonesia sebagaimana tema Hari Pahlawan tahun ini.

Perguruan tinggi merupakan arena untuk mereproduksi ilmu pengetahuan. Dengan adanya ilmu pengetahuan tersebut diharapkan generasi muda mampu memberikan alternatif solusi untuk menekan angka kemiskinan dan kebodohan di kalangan kelompok intelektual. Jangan sampai kelompok intelektual khususnya di kalangan mahasiswa menjadi apatis dan miskin imajinasi.

Kemiskinan imajinasi terbentuk karena adanya ideologi tunggal Fukuyama dalam tulisannya The End of History tahun 1989. Betapapun Fukuyama hanya sebatas ide, namun substansi pemikirannya sangat hegemonik bahkan dampaknya sangat terasa hingga saat ini.

Ketika IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) tahun 2023 turun yakni 6,71 penting untuk seluruh elemen masyarakat khususnya civitas akademika di perguruan tinggi terus melakukan konsolidasi pemikiran berkaitan dengan demokrasi, kebangsaan dan berbagai nilai-nilai kepahlawanan. Mendorong mahasiswa untuk menjadi pemikir-pemikir yang kritis sangat penting dilakukan, guna memerangi kemiskinan imajinasi di instansi pendidikan

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 3.957 perguruan tinggi di Indonesia pada 2023. Dari jumlah itu, sebanyak 3.115 perguruan tinggi berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dan 842 kampus di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Hal ini menjadi tantangan besar bagi para seluruh civitas akademika untuk menghasilkan output berupa alumni perguruan tinggi yang tidak miskin imajinasi namun generasi muda yang  menjadi harapan besar bagi Bangsa dan Negara melalui pemikirannya yg kritis dan berjiwa patriotik.

Sehubungan dengan tersebut, maka saya merekomendasikan beberapa point sebagai berikut :

1. Merumuskan kebijakan (penambahan kurikulum) yang menjadikan sistem koperasi sebagai mata kuliah wajib di seluruh perguruan tinggi negari dan swasta. Hal ini urgent dirumuskan karena kampus sebagai bagian dari elemen masyarakat wajib berkonstribusi dalam pengentasan kemiskinan dan memberantas kebodohan. Koperasi sebagai sokoguru ekonomi nasional ini masih sebatas cita-cita karena pada praktiknya koperasi belum menjadi kekuatan ekonomi nasional. Hal inilah yang harus diperkuat oleh seluruh perguruan tinggi bahwa menjadikan kampus sebagai ruang penguat sistem koperasi di Indonesia itu sangatlah urgent.

2. Meningkatkan jumlah, mutu dan akses bagi seluruh organisasi kemahasiswaan untuk mengikuti kegiatan kampus yang berorientasi pada pengembangan kapasitas personal dan kelembagaan. Hal ini dilakukan dengan dasar Tri Dharma Perguruan Tingi yang dielaborasikan dengan SDGs (Sustainable Development Goals). Hal ini penting dilakukan agar selaras dengan spirit kepahlawanan di tahun ini bahwa  perguruan tinggi turut andil dalam pengentasan kemiskinan dan kebodohan di Indonesia.

*Dosen Ilmu Komunikasi UNTAG Surabaya

Baca juga: Mahasiswa Untag Surabaya Berikan Pendampingan Packaging Kripik Pisang bagi Warga di Desa Dilem

Editor : Redaksi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru