Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital: Tantangan dan Solusinya

Reporter : Ika chairani
Ilustrasi

SURABAYA - Sobat Tikta, hidup di era digital memberi kita banyak keistimewaan. Sekali sentuh layar, semua tersedia: kabar terbaru, hiburan, bahkan peluang kerja. Tapi di balik kenyamanan itu, ada harga yang tak selalu terlihat. Kesehatan mental kita perlahan tergerus oleh ritme digital yang nyaris tak memberi ruang bernapas.

Kita hidup dalam dunia yang terus menyala, tak pernah benar-benar diam. Notifikasi berdentang dini hari. Timeline penuh kabar buruk. Wajah-wajah bahagia berseliweran tanpa henti. Tanpa sadar, kita mulai membandingkan, merasa tertinggal, atau kehilangan arah.

Baca juga: Quarter Life Crisis: Drama Umur 20-an yang Nggak Bisa Di-skip

Tantangan Kesehatan Mental di Tengah Derasnya Arus Digital

1. Terlalu Banyak Informasi, Terlalu Sedikit Tenang

Setiap hari, kita dihujani informasi. Bukan cuma kabar penting, tapi juga gosip, sensasi, dan kontroversi. Otak dipaksa menyaring mana yang perlu, mana yang melelahkan. Sayangnya, tubuh dan pikiran punya batas.

2. Media Sosial: Panggung Bahagia, Penjara Sunyi

Melihat hidup orang lain yang tampak sempurna bisa jadi pisau bermata dua. Kita lupa bahwa media sosial bukan cermin utuh kehidupan melainkan potongan-potongan terbaik yang dipilih untuk ditampilkan.

3. Batas yang Mengabur antara Kerja dan Istirahat

Bagi banyak orang, terutama yang bekerja dari rumah, ruang pribadi dan ruang kerja melebur jadi satu. Akhirnya, waktu istirahat pun ikut hilang tanpa terasa.

4. Minimnya Sentuhan Sosial Nyata

Pertemuan langsung yang dulu hangat kini digantikan pesan singkat dan emoji. Padahal, pelukan hangat dan tatapan mata nyata punya peran besar dalam meredakan tekanan batin.

5. Cyberbullying dan Komentar Negatif

Dunia maya tak selalu ramah. Kritik pedas, ejekan, bahkan kebencian bisa tersebar dalam hitungan detik. Dan yang menjadi korban sering kali tidak tahu harus bersandar ke siapa.

Solusi untuk Menjaga Diri Tetap Waras di Dunia Digital

Baca juga: Pernah Dikhianati, Kini Kamu Menjadi Pribadi yang Tak Tergoyahkan

Tentukan Jam Konsumsi Media Sosial dan Berita

Alih-alih terus scroll tanpa arah, tetapkan waktu khusus untuk berselancar di media sosial. Sisanya, gunakan untuk hal-hal yang lebih membumi: menyiram tanaman, berbincang, atau sekadar duduk diam.

Sadari bahwa Hidup Tak Perlu Selalu Sempurna

Kalau merasa tertinggal, ingat: kita semua punya waktunya masing-masing. Yang terlihat di layar bukan seluruh kisah. Kadang, yang paling indah justru tak dipamerkan.

Buat Rutinitas yang Seimbang

Meski kerja dari rumah, disiplin waktu tetap penting. Jam kerja, jam makan, dan jam istirahat harus tetap diberi batas jelas—agar tubuh tahu kapan harus berjuang, dan kapan boleh tenang.

Jalin Koneksi Nyata, Walau Sederhana

Baca juga: Healing Tiap Minggu, Tapi Mental Tetap Boncos: Ada Apa Sih?

Tak perlu menunggu momen besar. Ajak orang terdekat ngobrol santai, minum kopi bersama, atau berjalan kaki sore hari. Percakapan hangat sering kali lebih menyembuhkan daripada yang kita kira.

Berani Detoks Digital

Sehari tanpa gawai bukan musibah, tapi hadiah. Gunakan untuk membaca buku, menggambar, atau sekadar memandangi langit sore. Dunia nyata juga punya keindahan yang tak kalah menenangkan.

Minta Bantuan Jika Merasa Kewalahan

Jangan menunda untuk bicara dengan profesional jika pikiran terasa berat. Psikolog, konselor, atau teman yang bisa dipercaya semua bisa jadi jembatan untuk pulih.

Sahabat Tikta, menjaga kesehatan mental bukan tanda lemah, tapi bentuk kasih sayang pada diri sendiri. Di tengah dunia yang serba cepat, kita tetap boleh melambat. Menepi sejenak bukan berarti menyerah melainkan memberi ruang agar bisa melangkah lebih jauh, dengan hati yang utuh.

Mari lebih peka terhadap sinyal dari dalam diri, dan jangan ragu untuk rehat dari dunia digital saat tubuh dan pikiran memintanya.

Editor : Redaksi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru