JAKARTA - Dalam dunia percintaan, tidak semua dinamika pasangan berjalan dengan tulus. Ada kalanya, seseorang memilih memainkan peran korban atau yang populer disebut playing victim. Sekilas, tampak sebagai bentuk kelembutan hati yang terluka.
Namun, bila ditelisik lebih jauh, pola ini justru bisa menjadi strategi manipulatif untuk menguasai jalannya hubungan. Yuk! Sahabat Tikta simak bersama-bersama penjelasannya berikut ini:
Baca juga: Tanpa Kejujuran Hubungan Serius Itu Cuma Ilusi
Pola yang Tak Terlihat, Tapi Terasa
Seseorang yang playing victim biasanya pandai memutarbalikkan keadaan. Ia menggunakan kalimat sederhana seperti, “Kamu tidak peduli dengan aku”, meski pasangannya sudah berulang kali memberi perhatian. Kesalahan kecil dibesar-besarkan hingga tampak seolah-olah pasangan yang bersalah besar. Lebih jauh lagi, tanggung jawab atas konflik sering kali dilemparkan, sehingga pasangannya merasa terpojok.
Bentuk paling halus adalah ketika emosi dipakai sebagai alat kendali. Tangisan, kekecewaan yang berlebihan, hingga kemarahan mendadak bukan lagi ekspresi jujur, melainkan cara untuk membuat pasangan merasa bersalah. Dalam situasi ini, cinta dan simpati yang seharusnya tulus berubah menjadi alat tawar-menawar.
Dampak yang Menggerogoti Hubungan
Baca juga: Menguak Pesona An Empress and the Warriors: Kisah Kepemimpinan dan Cinta di Tengah Perang
Perilaku playing victim bukan cuma drama sesaat. Ia bisa melumpuhkan komunikasi yang sehat. Pasangan yang selalu menjadi sasaran akan merasa kesulitan menyampaikan perasaan sebenarnya, karena takut akan memicu drama baru. Rasa percaya pun terkikis sulit membedakan mana emosi tulus, mana manipulasi.
Akibatnya, penyelesaian masalah menjadi buntu. Daripada mencari solusi bersama, energi habis untuk mempertahankan peran masing-masing. Lama-kelamaan, hubungan bisa kehilangan esensinya untuk kebersamaan saling menguatkan.
Jalan Keluar: Tegas, Tapi Tidak Menyalahkan
Baca juga: 10 Penyebab Utama Bosan dalam Hubungan yang Sering Diabaikan
Jika terjebak dalam hubungan seperti ini, langkah pertama harus ada komunikasi yang jelas dan terbuka. Bicarakan apa yang dirasakan tanpa menyudutkan. Namun, penting juga untuk tidak terjebak memberi simpati berlebihan yang justru memperkuat pola playing victim.
Dorong pasangan untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Ajakan mencari solusi bersama bisa menjadi jalan tengah. Tetapi, bila pola ini terus berulang tanpa perubahan, pertanyaan besar harus diajukan. Apakah hubungan ini masih sehat untuk dipertahankan?
Karena cinta yang sejati bukanlah tentang siapa yang paling pandai terlihat menderita. Melainkan tentang keberanian dua orang untuk saling jujur, bertanggung jawab, dan tumbuh bersama.
Editor : Redaksi