SURABAYA - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terus memperkuat upaya pencegahan dan pengendalian penyakit Tuberkulosis (TBC) di Kota Pahlawan. Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah melalui kolaborasi dengan unsur hexa helix melalui optimalisasi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) videografi bertajuk Orkestra Cinta Merdeka TBC di Graha Sawunggaling
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari komitmen Pemkot untuk mengeliminasi TBC di Surabaya sekaligus mendukung target nasional eliminasi TBC pada tahun 2030.
Baca Juga: Gencarkan Patroli Satpol PP Jaring Puluhan Orang Diduga Pesta Miras
"Kita punya tekad kuat untuk mengeliminasi TBC. Sebab, TBC adalah penyakit yang sering sulit terdeteksi. Banyak penderita merasa malu, sehingga enggan mengaku, yang akhirnya berpotensi menularkan penyakit ini kepada keluarga dan tetangga," kata Eri, Selasa (21/1)
Eri juga menyampaikan bahwa optimalisasi KIE melalui media sosial telah menjadi bagian dari program rutin Pemkot.
"Bahkan Direktur Rumah Sakit Universitas Airlangga, Prof. Dr. Nasronuddin, menciptakan lagu yang mengingatkan masyarakat agar tidak mendiskriminasi penderita TBC. Stigma ini harus diubah, sejalan dengan program Pemkot melalui konsep RW 1 Nakes 1," jelas Eri.
Pemkot Surabaya telah mengimplementasikan layanan kesehatan berbasis komunitas dengan konsep RW 1 Nakes 1 (R1N1). Program ini bertujuan untuk mempermudah akses layanan kesehatan dan memastikan pendampingan bagi warga yang berisiko tinggi maupun yang mengalami sakit ringan.
Baca Juga: Destinasi Wisata Baru, Pemkot Optimis Tingkatkan Perekonomian, Peluang Besar bagi UMKM
"Dalam satu RW, kita bisa mengetahui jumlah ibu hamil, warga yang sakit, dan kondisi lainnya. Inilah yang saya sebut sebagai Surabaya Bergerak. Gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan fokus pencegahan TBC. Harapannya, TBC dapat dieliminasi dengan pendekatan yang menekankan pentingnya masker tanpa memberikan stigma negatif pada penderita," terang Eri.
Wali Kota Eri menekankan bahwa pendekatan terhadap penderita TBC berbeda dengan COVID-19. Tidak diperlukan tempat khusus untuk penderita TBC karena dapat menimbulkan stigma bahwa mereka harus diisolasi.
"Dokter menyampaikan bahwa penderita TBC tetap dapat berinteraksi dengan menggunakan masker dan mengonsumsi obat secara rutin hingga sembuh. Karena itu, penderita TBC tidak boleh didiskriminasi. Pemkot juga telah berkoordinasi dengan DPRD untuk memastikan pendekatan ini dilakukan dengan baik," jelasnya.
Baca Juga: Pemkot Surabaya Siapkan Program Strategis Kembangkan Wisata dan Ekraf 2025
Eri juga menggarisbawahi tantangan yang dihadapi, yaitu rendahnya kesadaran penderita untuk melaporkan diri dan menjalani pengobatan secara teratur.
"Banyak penderita yang bosan mengonsumsi obat secara rutin, sehingga berisiko mengalami resistensi obat. Padahal, TBC dapat disembuhkan dengan mengonsumsi obat selama enam bulan dan menggunakan masker," tuturnya.
Editor : Redaksi