Goya’s Ghosts: Ketika Kekuasaan dan Keyakinan Berpadu Jadi Tirani

Goya’s Ghosts tangkapan layar
Goya’s Ghosts tangkapan layar

JAKARTA - Apa jadinya jika pelukis besar seperti Francisco Goya hidup di tengah kekacauan politik dan kerasnya lembaga kepercayaan? Goya’s Ghosts (2006), garapan Miloš Forman, menjawabnya dengan cara yang pahit, tragis, sekaligus jujur. Film ini bukan hanya biopik Goya, Namun di balik keheningan karya Goya, Spanyol dilanda pergolakan sosial dan politik

Dibuka dengan suasana Eropa akhir abad ke-18, film memperkenalkan Goya (Stellan Skarsgård) sebagai pelukis ternama yang karyanya digemari bangsawan dan lembaga keimanan. Tapi di balik kanvas dan kuas, diwarnai kepedihan dan kekacauan. Inkuisisi bangkit kembali, mencari “musuh ajaran” lewat tuduhan semena-mena. Di sinilah Inés (Natalie Portman), model lukisan Goya, menjadi korban. Ia ditangkap hanya karena menolak makan babi di kedai.

Baca Juga: Sleeping Beauty Keindahan Terlipat dalam Kekosongan

Goya yang terpukul, meminta bantuan pada Brother Lorenzo (Javier Bardem), seorang tokoh pengkhotbah ambisius yang ternyata lebih gelap dari yang dibayangkan. Bukannya menyelamatkan, Lorenzo malah memperkosa Inés dan membiarkannya membusuk di dalam penjara. Ironi pun berputar: Lorenzo kemudian dijebloskan ke sel karena dianggap terlalu liberal.

Lima belas tahun berlalu. Prancis menguasai Spanyol. Lorenzo kembali, kini sebagai pejabat revolusioner. Tapi masa lalu mengejarnya. Inés, yang lepas dari penjara dalam kondisi terguncang jiwa, kembali mencarinya bersama anak yang lahir dari tragedi. Namun Lorenzo menolak mengakui. Ia memilih kekuasaan ketimbang tanggung jawab. Dan sekali lagi, sistem menggulungnya.

Goya? Ia tetap diam. Melukis. Menyimpan amarah dan getirnya dalam karya-karya yang tak bisa bicara, tapi bersaksi. Dalam dunia yang tak mengenal keadilan, seni menjadi saksi yang abadi.

Baca Juga: The Girl Next Door (2004): Saat Cinta dan Tabu Menabrak Dunia Sebuah Kota Kecil

Film yang Membisu, Tapi Menampar

Goya’s Ghosts tak memberi kita pahlawan. Semua tokoh utama baik Lorenzo, Goya, maupun Inés adalah korban dari zaman. Forman menyajikan narasi yang mengalir lambat tapi menekan. Satu-satunya letupan emosi datang dari kenyataan pahit: kebenaran bisa diputarbalikkan, ajaran bisa diperjualbelikan, dan kemanusiaan bisa hilang dalam dokumen resmi lembaga maupun penguasa.

Natalie Portman tampil menyayat, terutama saat memerankan Inés yang kehilangan kewarasannya. Javier Bardem memancarkan wajah dingin seorang tokoh sistem yang perlahan berubah jadi monster politik. Sementara Goya, sebagai mata kamera sejarah, justru memunculkan pertanyaan: apakah seni cukup kuat untuk melawan kekejaman?

Baca Juga: “A Shop for Killers” Ketika Toko Warisan Menjadi Arena Berdarah

Pesan Moral: Ketika Sistem Jadi Hantu yang Nyata

Film ini mengingatkan kita kekuasaan dan keyakinan yang tak terbuka pada kritik bisa menjadi alat penindasan. Dan korban utamanya bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa manusia. Goya’s Ghosts bukan kisah tentang lukisan melainkan tentang luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

Editor : Redaksi