Dorong Perubahan Kebijakan, Mahasiswa Asal Pemalang Kirim Surat Audensi Ke Tiga Kementrian Strategis

Mahasiswa Pemalang yang tergabung dalam ormas Pangan Kita
Mahasiswa Pemalang yang tergabung dalam ormas Pangan Kita

PEMALANG - Pangan Kita, merup organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang kedaulatan pangan, menyatakan sikap tegas menolak kebijakan pemerintah yang kembali membuka ruang bagi impor susu skim bubuk, terutama dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat. 

Kebijakan tersebut dianggap tidak adil dan berpotensi memukul telak keberlangsungan hidup peternak sapi perah rakyat di Indonesia.

Baca Juga: Terima Amnesty Dari Presiden Prabowo, 65 Napi di Jateng Langsung Bebas

Sebagai langkah awal untuk mendorong perubahan kebijakan, Farras Alam Majid, Co-Founder Pangan Kita sekaligus mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, pada hari ini (4 Agustus 2025) resmi mengirimkan surat permohonan audiensi kepada tiga kementerian strategis: Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Pangan. Tujuan dari audiensi ini adalah menyampaikan langsung temuan kajian serta suara peternak rakyat kepada para pembuat kebijakan, sebagai bentuk advokasi berbasis data dan dialog.

“Kami tidak datang dengan kemarahan, tapi dengan data dan niat baik. Negara harus membuka telinga untuk mendengar mereka yang paling terdampak dari setiap kebijakan pangan,” ujar Farras.

Krisis Struktural dalam Sektor Susu

Saat ini, lebih dari 83 persen produksi susu dalam negeri masih bergantung pada peternak rakyat. Namun, keberadaan mereka semakin tersingkir karena gempuran produk impor yang masuk ke pasar dengan harga yang sangat murah. 

Hal ini terjadi karena negara-negara eksportir seperti AS memberikan subsidi besar bagi peternaknya, sehingga harga produk mereka tidak mencerminkan biaya produksi riil.

Industri pengolahan susu di Indonesia, yang sebagian besar dimiliki oleh perusahaan multinasional, cenderung lebih memilih bahan baku impor karena dinilai lebih murah, mudah diakses, dan volumenya stabil. 

Akibatnya, susu lokal dari koperasi peternak sulit terserap secara optimal, dan ketika terserap pun harganya sangat rendah.

Peternak lokal hanya menerima harga sekitar Rp4.200 hingga Rp5.000 per liter, yang tidak mencukupi untuk menutup biaya produksi dan operasional harian. Banyak di antara mereka yang akhirnya menjual sapinya, menutup usaha, atau beralih ke sektor lain.

Baca Juga: Truk Bermuatan Bambu Runcing Masih Bebas Melintas di Kota Pemalang, Warga Khawatir Keselamatan Terancam

Kajian Pangan Kita: Implikasi Sosial dan Pelanggaran Regulasi

Pangan Kita baru saja menyelesaikan kajian kebijakan berjudul “Menolak Kebijakan Impor Susu: Kajian Dampak Ekonomi, Sosial, dan Ketahanan Pangan Nasional”. 

Kajian ini menunjukkan ketergantungan terhadap impor susu bukan hanya melemahkan produksi lokal, tetapi juga menciptakan ketimpangan struktural antara peternak kecil dengan industri besar.

Beberapa temuan kunci dalam kajian tersebut antara lain:

- Produksi susu nasional hanya mampu memenuhi 18–20 persen kebutuhan nasional, sisanya diimpor dalam bentuk susu bubuk, terutama dari AS, Selandia Baru, dan Uni Eropa.

Baca Juga: Truk Bermuatan Bambu Runcing Masih Bebas Melintas di Kota Pemalang, Warga Khawatir Keselamatan Terancam

- Tidak ada kewajiban industri untuk menyerap susu dari peternak lokal, sementara kebijakan pemerintah cenderung netral terhadap asal bahan baku.

- Koperasi peternak tidak memiliki posisi tawar yang kuat dan tidak didampingi secara sistematis oleh negara.

- Kebijakan ini bertentangan dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan serta Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015, yang mewajibkan negara untuk mengutamakan produksi dan distribusi pangan lokal.

“Ini bukan sekadar isu perdagangan, ini tentang keberlanjutan hidup jutaan keluarga peternak di Indonesia. Negara wajib hadir untuk menjamin keadilan dalam sistem pangan,” tutupnya. 

Editor : Redaksi