Maladministrasi: 'Kanker Kronis' yang Membunuh Pelayanan Publik

Isu Pelayanan Publik dan Maladministrasi 

Pelayanan publik semestinya menjadi refleksi kehadiran negara dalam menjamin hak asasi warganya. 

Baca Juga: Menolak Klaim Primordial, Mengakhiri Isu Rasis, dan Mengokohkan Gotong Royong Arek Suroboyo

Namun, kualitas layanan publik seringkali tergerus dan terhambat oleh satu penyakit struktural yang sistemik: maladministrasi. Hubungan antara keduanya bersifat kausal. 

Maladministrasi, yang merupakan bentuk administrasi yang menyimpang dan melanggar hukum serta etika, secara langsung menjadi determinan utama dari buruknya pengalaman masyarakat saat berinteraksi dengan birokrasi.

Maladministrasi adalah penyakit laten yang menggerogoti integritas dan efektivitas pelayanan publik. Bukan sekadar administrasi yang buruk biasa, ini adalah manifestasi pelanggaran prinsip tata kelola yang baik. 

Inti dari masalah ini sering kali berakar pada budaya birokrasi yang tidak sehat (patologi birokrasi), di mana prosedur dijadikan penghalang alih-alih pelayan, dan akuntabilitas menjadi barang langka.

Fenomena ini sering ditandai dengan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, baik itu sengaja diabaikan untuk kepentingan pribadi atau dilakukan karena minimnya pemahaman. 

Di balik setiap kasus maladministrasi, sering tersembunyi benih inkompetensi aparatur, baik dalam hal teknis maupun manajerial, yang membuat proses menjadi lambat, tidak efisien, dan merugikan masyarakat. 

Namun, aspek yang paling merusak adalah ketika maladministrasi bersentuhan dengan konflik kepentingan; di sinilah pelayanan publik dikorbankan demi keuntungan pribadi atau kelompok, mengubah amanah jabatan menjadi alat transaksi ilegal.

Dari Bursa Jabatan hingga Proyek Siluman

Maladministrasi merupakan momok yang menghantui efektivitas birokrasi, bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan penyimpangan substansial yang merusak kepercayaan publik (public trust). 

Dua area yang paling rentan dan sering menjadi sarang maladministrasi adalah jual-beli jabatan dan proses pengadaan barang dan jasa (procurement) pemerintah. 

Praktik jual-beli jabatan adalah bentuk maladministrasi paling telanjang, di mana prinsip sistem merit dihancurkan; kompetensi dan kualifikasi dikesampingkan demi imbalan finansial. 

Fenomena ini menciptakan rantai komando yang diisi oleh individu yang inkompeten namun kaya, yang pada akhirnya akan meneruskan budaya koruptif ini ke tingkat bawah untuk "balik modal".

Di sisi lain, sektor pengadaan barang dan jasa sering menjadi panggung utama bagi maladministrasi yang berujung pada kerugian negara. 

Bentuk maladministrasi di sektor ini meliputi penggelembungan harga (mark-up), penetapan pemenang lelang yang sudah diatur sejak awal, hingga pengadaan yang sifatnya fiktif atau tidak sesuai spesifikasi. 

Semua tindakan ini melanggar regulasi pengadaan yang transparan dan akuntabel. Inti dari penyimpangan ini adalah konflik kepentingan yang kronis, di mana pejabat pembuat komitmen (PPK) atau pejabat pengadaan memiliki relasi tersembunyi dengan pihak rekanan atau penyedia barang, memastikan proyek diarahkan ke pemenang (tender) yang dikehendaki.

Baca Juga: Reog Sudah Mendunia, Giliran Kita yang Harus Bergerak

Maladministrasi, yang termanifestasi dalam praktik, seperti jual-beli jabatan atau penyelewengan dalam pengadaan barang dan jasa, merupakan kanker kronis. Ini secara fundamental menghambat pembangunan nasional dan mencederai kepercayaan publik. 

Akar masalah ini menjalar hingga ke budaya birokrasi, menciptakan lingkungan di mana kompetensi dan integritas sering kali dikalahkan oleh koneksi dan transaksi terlarang. 

Oleh karena itu, upaya pemberantasannya tidak dapat hanya bersifat insidentil; ia menuntut komitmen serius, dan berkelanjutan dari pimpinan instansi dan lembaga negara untuk secara radikal membersihkan dan mereformasi sistem yang ada. 

Langkah ini krusial untuk mencabut hingga ke akarnya "budaya birokrasi yang sakit". Lebih jauh lagi, pembersihan ini merupakan prasyarat mutlak untuk menegakkan kembali prinsip pelayanan publik yang sejati, yaitu sebuah sistem yang sepenuhnya berbasis pada akuntabilitas. 

Setiap keputusan dan layanan yang diberikan benar-benar didasarkan pada kebutuhan masyarakat (dan hukum), bukan berdasarkan negosiasi terselubung atau tekanan kekuasaan. 

Peran Ombudsman RI

Di tengah tuntutan masyarakat akan tata kelola pemerintahan yang baik, keberadaan sebuah lembaga pengawas independen menjadi kunci utama. Lembaga tersebut tak lain adalah Ombudsman RI, sebuah institusi negara yang hadir untuk mengawal dan memastikan bahwa pelayanan publik di negeri ini berjalan sesuai dengan koridor hukum, keadilan, dan kepatutan. 

Mereka berperan penting dalam memastikan kepatuhan administrasi dan merekomendasikan perbaikan struktural, membedakan kasus maladministrasi murni dari tindak pidana korupsi yang menjadi ranah KPK.

Ombudsman RI adalah jantung reformasi birokrasi dari sisi pengawasan eksternal. Peran utamanya adalah menerima, memverifikasi, dan menindaklanjuti laporan atau pengaduan masyarakat mengenai dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 

Baca Juga: 3.492 PPPK Paruh Waktu Resmi Bertugas, Pemkab Majalengka Fokus Perkuat Layanan Publik

Maladministrasi ini dapat berupa penundaan berlarut, tidak kompeten, penyalahgunaan wewenang, diskriminasi, hingga permintaan imbalan yang tidak sah.

Ketika seseorang merasa dirugikan oleh layanan yang diberikan oleh instansi pemerintah, BUMN, BUMD, atau bahkan badan swasta yang menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, Ombudsman RI berfungsi sebagai pembela dan penengah. 

Lembaga ini berwenang melakukan investigasi dan pemeriksaan terhadap laporan, bahkan melakukan investigasi atas prakarsa sendiri (own motion) jika ditemukan potensi maladministrasi yang signifikan.

Setelah melakukan pemeriksaan, Ombudsman RI dapat mengeluarkan Rekomendasi yang wajib dilaksanakan oleh instansi terlapor. Rekomendasi ini bersifat mengikat dan menjadi instrumen penting untuk perbaikan sistem layanan publik. 

Selain itu, peran Ombudsman RI juga meluas ke ranah pencegahan. Mereka melakukan kajian, memberikan saran kepada penyelenggara pelayanan publik, dan menyelenggarakan sosialisasi secara masif untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak publik dan standar layanan yang baik.

Intinya, Ombudsman RI adalah watchdog yang memastikan setiap warga negara mendapatkan haknya atas pelayanan publik. 

Tentunya pelayanan yang dimaksud berupa excellent service, tanpa diskriminasi, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme-favoritisme. Kehadirannya menjamin bahwa suara rakyat didengar dan menjadi kekuatan pendorong bagi terwujudnya birokrasi yang melayani di Indonesia.

*)Oleh: Mochamad Chazienul Ulum, Dosen Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang

Editor : Redaksi