SURABAYA – Komisi B DPRD Surabaya gelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Surabaya dan Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Surabaya, pada Senin (4/8).
Rapat ini membahas polemik penagihan pajak reklame terhadap Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), khususnya terkait penafsiran reklame yang dipasang pada bagian kanopi atau resplang SPBU sebagai objek pajak.
Baca juga: Budi Leksono: Digitalisasi Perizinan Dorong Surabaya Jadi Kota Tujuan Investasi
Dalam pertemuan tersebut, Sekretaris Bapenda Surabaya, Dahliana Lubis, menjelaskan bahwa dasar penagihan mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2023 serta masukan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Namun, ia mengakui bahwa secara teknis pelaksanaan penarikan pajak tersebut masih perlu dikonsultasikan lebih lanjut, mengingat adanya celah interpretasi terhadap objek reklame serta belum optimalnya ruang sosialisasi.
“Sebenarnya sosialisasi sudah dilakukan sejak 2019. Hanya saja pelaksanaannya belum menyeluruh,” ujarnya.
Sementara itu, penasihat hukum Hiswana Migas Surabaya, Ben D. Hadjon, menilai pendekatan yang diambil Bapenda tidak proporsional dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, khususnya asas larangan retroaktif.
“Penetapan pajak yang merujuk pada Perda tahun 2023, tetapi ditarik hingga lima tahun ke belakang, jelas bertentangan dengan asas hukum universal,” tegas Ben.
Ia juga menegaskan bahwa warna merah pada kanopi SPBU bukan merupakan unsur promosi, melainkan merupakan warna korporasi milik Pertamina, sehingga tidak dapat serta-merta dikategorikan sebagai reklame.
Baca juga: Budi Leksono: Digitalisasi Perizinan Dorong Surabaya Jadi Kota Tujuan Investasi
Hiswana Migas juga mempertanyakan dasar penafsiran reklame berdasarkan Perda Surabaya, mengingat kebijakan serupa tidak diberlakukan di daerah lain seperti Sidoarjo dan Gresik. Bahkan, di DKI Jakarta yang memiliki definisi reklame serupa dalam perda, implementasinya justru berbeda.
“Ini yang kami nilai tidak rasional. Kenapa hanya di Surabaya implementasinya berbeda?” tambah Ben.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya, Mochammad Machmud, turut menyampaikan keberatannya. Ia menilai penarikan pajak terhadap keempat sisi lisplang SPBU, termasuk sisi yang menghadap tembok, sebagai tindakan yang tidak masuk akal.
“Bapenda menyebut ini merupakan arahan dari BPK. Tapi mana surat resminya? Sampai sekarang belum ada,” kritik Machmud.
Baca juga: Tegaskan Integritas, Ketua DPRD Surabaya Buktikan Diri Bebas Narkoba
Ia menilai Bapenda tidak transparan dan tidak melakukan sosialisasi secara memadai sebelum menerbitkan tagihan. Oleh karena itu, Komisi B menyarankan agar pengelola SPBU menunda pembayaran hingga ada kepastian hukum.
Komisi B DPRD Surabaya menilai bahwa persoalan ini bukan sekadar tafsir atas regulasi, melainkan menyangkut transparansi, kepatutan, dan asas keadilan dalam kebijakan perpajakan daerah.
“Jika pemerintah tidak segera menyelesaikan persoalan ini secara tuntas, kisruh pajak resplang SPBU dapat menjadi preseden buruk dalam tata kelola perpajakan daerah,” pungkasnya.
Editor : Redaksi