SURABAYA – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya mengimbau warga untuk menjaga kebersihan lingkungan, terutama saat pelaksanaan kerja bakti “Surabaya Bergerak”. Imbauan ini juga menyoroti larangan pembuangan perabotan rumah tangga sembarangan, yang dapat dikenai sanksi berupa denda maksimal Rp50 juta atau pidana kurungan paling lama enam bulan.
Kepala DLH Kota Surabaya, Dedik Irianto, mengatakan bahwa aturan tersebut mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah dan Kebersihan, yang diperkuat dengan Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif.
Baca juga: Lapor Sampah Sembarangan, Dapat Rp200 Ribu, Begini Kata DLH Surabaya
“Dalam Perda yang diperkuat Perwali, dimuat sejumlah larangan, di antaranya membuang sampah tidak pada tempatnya dan membuang sampah berukuran besar. Denda ini tidak berlaku untuk jenis sampah tertentu hasil kerja bakti yang diangkut Pemkot,” ujarnya, Senin (11/8).
Menanggapi imbauan tersebut, Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Surabaya, Aning Rahmawati, menegaskan bahwa penegakan sanksi harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat dan terukur.
Ia menilai bahwa Pemkot Surabaya belum maksimal dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap perilaku masyarakat qalam menjaga kebersihan.
“Pemerintah kota harus clear and clean dalam pengawasan. Kalau tiba-tiba langsung dikenakan denda Rp50 juta tanpa sosialisasi dan contoh penegakan perda, saya kira hasilnya akan sama seperti sebelumnya,” kata Aning panggilan akrabnya.
Menurut Aning, mekanisme pengawasan saat ini masih mengandalkan operasi yustisi, yang dinilai belum efektif menekan angka pembuangan sampah sembarangan. Ia menjelaskan, operasi yustisi telah dilakukan berulang kali, namun keberadaan sampah liar masih sering ditemukan di berbagai sudut kota.
Politisi PKS tersebut, menambahkan bahwa yang paling perlu diperkuat adalah pembentukan dan penguatan budaya masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Baca juga: LPBHNU Surabaya Paparkan Konsep Pemahamanan Pelaksanaan Perda Nomor 7 Tahun 2023
“Kalau masyarakatnya punya kesadaran, maka penegakan perda akan jauh lebih mudah,” ujarnya.
Selain itu, Aning menyoroti besaran denda maksimal Rp50 juta yang tercantum dalam Perda. Menurutnya, nominal tersebut berpotensi sulit diterapkan, terutama bagi warga yang kurang mampu, karena tidak ada ketentuan sanksi pidana sebagai alternatif.
Ia pun mengusulkan, agar besaran denda dan ketentuan lainnya ditinjau ulang, agar penerapannya lebih realistis.
Dalam kesempatan tersebut, Aning juga menilai bahwa Perwali Nomor 16 tahun 2022 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik di Kota Surabaya perlu dievaluasi. Ia mencontohkan, penerapan aturan serupa di Bali, di mana penjual tidak lagi memberikan kantong plastik karena adanya regulasi yang tegas dan konsisten ditegakkan.
Baca juga: Kunjungi Kampus Unipra, DLH Surabaya Beberkan Retribusi Pelayanan Kesehatan
“Kalau Perwali sampah plastik ditegakkan seperti di Bali, saya yakin Surabaya akan jauh lebih bersih. Di Bali, saya pernah membeli nasi dan penjualnya tidak mau memberi plastik karena ada aturannya. Di Surabaya, penerapannya masih terbatas di toko modern dan pasar tertentu,” jelasnya.
Aning menilai, bahwa kelemahan penerapan kebijakan di Surabaya disebabkan kurangnya keberanian Pemkot untuk melakukan pengawasan penuh, mulai dari tingkat kecamatan sampai kelurahan. Ia menegaskan bahwa tanpa dukungan penuh dari semua lini pemerintahan, penegakan aturan akan sulit dilakukan secara menyeluruh.
Dengan demikian, ia mendorong agar sosialisasi tentang larangan dan sanksi terkait pembuangan sampah dilakukan secara masif dan berkesinambungan. Menurutnya, upaya ini harus menjadi bagian dari strategi manajerial Pemkot dalam mengatasi persoalan sampah.
“Saya kira kuncinya ada di manajemen DLH. Kalau koordinasi dengan lurah dan camat berjalan baik, penentuan waktu kerja bakti terjadwal rapi, dan pengawasan dilakukan konsisten, maka permasalahan sampah di Surabaya bisa teratasi,” pungkasnya.
Editor : Redaksi