Kyai, Santri dan Pesantren Dari Resolusi Jihad hingga Perlawanan Atas Framing Murahan

Reporter : Aldi Fakhrudin
Andri Firmansyah

SURABAYA - Ada garis panjang sejarah yang menegaskan satu hal: santri, kiai, dan pesantren bukanlah penonton dalam perjalanan bangsa ini. Mereka adalah subjek sejarah pelaku aktif yang menulis babak kemerdekaan dan peradaban Indonesia dengan darah, doa, dan keteguhan iman.

Karena itu, setiap upaya merendahkan martabat pesantren, apalagi dengan framing murahan yang melecehkan peran para kiai dan santri, bukan sekadar penghinaan terhadap lembaga keagamaan. Itu adalah serangan terhadap fondasi moral bangsa ini sendiri.

Baca juga: Kejahatan Rekening Bansos Fiktif: Siapa yang Mampu Mengorganisir?

Tayangan Xpose Uncensored Trans7 pada 13 Oktober 2025 menjadi contoh paling telanjang dari bagaimana sebagian media kehilangan arah etik dan nurani jurnalistik. Dengan dalih “fakta”, mereka memproduksi narasi yang menodai marwah pesantren dan menstigma dunia santri sebagai ruang gelap, tertutup, bahkan terbelakang.

Padahal, siapa pun yang membaca sejarah dengan jernih tahu bahwa justru dari pesantrenlah lahir api perlawanan, ide kebangsaan, dan semangat keindonesiaan yang otentik.

Akar Perlawanan Dari Tasbih ke Tangan, dari Panggung Ngaji ke Barisan Tempur Kiai dan santri bukan baru kali ini difitnah. Sejak zaman kolonial Belanda, mereka sudah menjadi target karena peran sentralnya dalam menggerakkan rakyat. Belanda menandai pesantren sebagai “sarang pemberontak” karena dari situlah lahir para pejuang yang menggabungkan jihad spiritual dan politik pembebasan.

Ketika bangsa ini masih terjajah, para kiai menolak tunduk pada kekuasaan kolonial yang ingin mengatur agama dan pendidikan. Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama bukan sekadar untuk mengajar fiqih dan tauhid, tetapi untuk membangun kesadaran sosial-politik umat. 

Di pesantren, kitab kuning bukan sekadar teks agama; ia adalah naskah ideologis tentang kemandirian, keadilan, dan tanggung jawab sosial.

Puncak dari itu adalah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 fatwa monumental yang menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah kewajiban suci (fardhu ‘ain) bagi setiap Muslim Indonesia. Dari surau dan langgar kecil itulah, semangat perlawanan menyebar ke seluruh penjuru negeri, melahirkan kobaran pertempuran 10 November di Surabaya yang kita rayakan setiap tahun sebagai Hari Pahlawan.

Apakah media seperti Trans7 memahami konteks ini? Atau mereka sengaja menutup mata, memilih sensasi daripada substansi, memilih rating ketimbang tanggung jawab?

Framing dan Luka Sosial Ketika Pesantren Dijadikan Bahan Tontonan

Program Xpose Uncensored seolah ingin memosisikan pesantren sebagai objek eksotik: lembaga keagamaan yang misterius dan pantas dicurigai. Dengan gaya pseudo-investigatif, mereka memotong realitas, mencomot potongan peristiwa, dan menyajikannya tanpa konteks. Inilah penyakit lama media arus utama: ingin menjadi pemburu sensasi, bukan penjaga akal sehat publik.

Padahal pesantren adalah lembaga dengan tradisi ilmiah dan sosial yang kompleks. Di sana tumbuh nilai-nilai toleransi, gotong royong, serta semangat kebangsaan yang tak lekang oleh zaman. Dari pesantren lahir ribuan guru, ulama, aktivis sosial, bahkan birokrat dan politisi yang hari ini menggerakkan roda pemerintahan.

Lalu mengapa pesantren masih sering diserang dengan framing negatif? Karena pesantren masih memegang otonomi moral sesuatu yang tidak bisa dibeli oleh kekuasaan maupun modal. Pesantren tidak tunduk pada kapitalisme media, tidak berkompromi dengan kepentingan politik sesaat. Dan itulah yang membuat sebagian pihak gerah.

Santri Tidak Diam, Melawan Bukan dengan Amarah, Tapi dengan Martabat kemarahan publik atas tayangan tersebut bukanlah luapan emosional tanpa dasar, tetapi bentuk ijtihad kultural untuk mempertahankan kehormatan dunia pesantren. 

Ketika ratusan ribu santri dan alumni bersuara, itu bukan gerakan reaktif melainkan ekspresi kesadaran sejarah bahwa fitnah terhadap kiai adalah fitnah terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.

Santri tahu bagaimana cara melawan

Mereka tidak menebar kebencian, tidak melakukan kekerasan, tapi menegakkan perlawanan dengan cara bermartabat: melalui pernyataan sikap, klarifikasi publik, dan tekanan moral kepada lembaga penyiaran agar bertanggung jawab atas kontennya.

Baca juga: 66 Tahun Dekrit Presiden: Sebuah Peta Jalan

Perlawanan santri hari ini bukan lagi dengan bambu runcing, tapi dengan pena, mikrofon, dan jejaring digital. Jika dulu resolusi jihad disuarakan lewat mimbar masjid, kini ia bergema lewat ruang-ruang digital, menandai kebangkitan generasi pesantren yang melek media dan siap menjaga nama baik kiai serta dunia pendidikan Islam dari distorsi dan fitnah.

Media dan Tanggung Jawab Etik Antara Kebebasan dan Kesopanan

Media boleh bebas, tapi tidak boleh sebebas-bebasnya. Kebebasan pers bukan lisensi untuk menghina keyakinan atau lembaga keagamaan. Ada etika, ada kode, ada batas yang harus dijaga demi kepentingan publik.

Trans7 seharusnya tahu bahwa kebebasan jurnalistik tanpa akhlak hanya melahirkan anarki informasi. Tayangan seperti Xpose Uncensored bukan mencerahkan, melainkan menjerumuskan publik pada kesalahpahaman sosial. Jika mereka benar-benar ingin mengungkap “fakta”, mengapa tidak menampilkan pesantren sebagai ruang transformasi sosial?.

Mengapa tidak menyoroti kontribusi pesantren dalam pendidikan, ekonomi umat, dan deradikalisasi? Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena menyangkut kredibilitas media di mata publik. Sekali mereka mengkhianati etika, maka kepercayaan masyarakat akan terkikis, dan itu lebih berbahaya dari sekadar kehilangan rating.

Menutup Luka, Meneguhkan Peran

Kita tidak menolak kritik terhadap pesantren sebab pesantren juga manusiawi, tidak sempurna, dan terbuka untuk perbaikan. Tapi yang kita tolak adalah pelecehan dan framing yang menyesatkan publik.

Santri tidak alergi terhadap transparansi, tapi mereka menuntut keadilan dalam narasi.

Baca juga: Ketahanan Keluarga: Memperkokoh Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Kiai tidak anti-media, tapi mereka menolak ketika media menjadikan kehormatan pesantren sebagai bahan komoditas tontonan.

Sejarah mencatat, bangsa ini berdiri di atas doa para kiai dan perjuangan para santri. Maka, jangan heran bila kini mereka kembali berdiri bukan untuk menguasai, tetapi untuk mengoreksi arah moral bangsa yang mulai kehilangan rasa hormat pada nilai-nilai luhur.

Perlawanan santri bukan untuk menjatuhkan siapa pun, melainkan untuk mengingatkan: bahwa tanpa pesantren, bangsa ini kehilangan ruhnya; tanpa kiai, negara kehilangan arah; tanpa santri, Indonesia kehilangan hati nuraninya.

Dari Resolusi Jihad ke Resolusi Narasi

Kini saatnya dunia pesantren mengambil kembali kendali narasi. Jangan biarkan kebenaran dikaburkan oleh tayangan-tayangan instan yang miskin akal sehat. Resolusi jihad zaman ini bukan lagi soal angkat senjata, tapi soal melawan disinformasi, menjaga marwah, dan merebut ruang publik agar kembali beradab.

Pesantren telah bertahan ratusan tahun melawan penjajahan dan kemiskinan, dan mereka pasti juga akan bertahan melawan penjajahan baru bernama framing media.

Dan ketika kiai dan santri bersatu, sejarah selalu berpihak pada mereka.

*)Oleh: Andri Firmansyah Santri & Aktivis Pemuda

Editor : Redaksi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru