Polemik video viral soal pengelolahan parkir Mie Gacoan oleh sebuah ormas primordial kembali mengusik ketenangan warga.
Praktik intimidatif semacam ini bukan hanya menyalahi aturan, tetapi juga menciptakan tekanan psikologis bagi pelaku usaha dan masyarakat.
Baca Juga: Reog Sudah Mendunia, Giliran Kita yang Harus Bergerak
Efek domino dari komentar bernuansa rasis yang muncul setelahnya pun memperlihatkan betapa isu identitas masih rentan dieksploitasi.
Padahal, fenomena tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan rasisme, dan tidak tepat diarahkan sebagai sentimen terhadap kepemimpinan Kota Surabaya.
Jika ada pemaksaan, intimidasi, atau pungutan tanpa dasar hukum, itu murni persoalan pelanggaran yang harus diproses melalui mekanisme hukum.
Mengaitkannya dengan etnis atau kelompok tertentu hanya akan memperkeruh suasana dan menyalakan api polarisasi yang tidak sesuai dengan karakter kota ini.
Kasus serupa juga tampak dalam sentimen negatif terhadap warga keturunan Tionghoa yang muncul pada aksi di Balai Kota pada 1 Desember 2025.
Narasi bernuansa rasial seperti itu seharusnya tidak diberi ruang sama sekali. Surabaya terlalu plural, terlalu besar, dan terlalu matang untuk terseret kembali pada isu yang memecah belah.
Di tengah dinamika tersebut, penegakan hukum harus berjalan tegas tanpa pandang bulu. Masyarakat pun harus tetap waspada agar tidak terprovokasi oleh narasi bernada primordial.
Persoalan Surabaya hari ini bukan lagi soal pertentangan etnis, melainkan bagaimana menjaga ketertiban kota dan memastikan setiap orang merasa aman, dihargai, dan dilindungi.
Baca Juga: Refleksi Hari Guru: Antara Penghormatan Formal dan Pengabaian Substansial
Surabaya sendiri telah lama berdiri sebagai kota plural. Data demografis menunjukkan bahwa 83,7% penduduknya adalah Jawa, 7,5% Madura, 7,25% Tionghoa, sisanya Arab dan beragam suku lain.
Kota ini dibangun oleh banyak identitas dan latar sosial yang tumbuh berdampingan secara harmonis.
Keberagaman itu bahkan terbukti sebagai kekuatan ketika pandemi COVID-19 menghantam.
Semangat gotong royong arek-arek Suroboyo membuat relawan, tenaga kesehatan, komunitas, dan pemerintah bersatu tanpa memandang identitas.
Dari persatuan itulah Surabaya mampu keluar dari masa krisis dengan ketangguhan yang diakui secara nasional.
Baca Juga: Mengurai Beban Kesepian, Melawan Rasa Hampa
Karena itu, Surabaya tidak boleh goyah oleh propaganda kelompok mana pun. Budaya “teko opo enek, ayo ditandangi bareng-bareng” adalah fondasi kota ini: semua tantangan harus dihadapi bersama, bukan dengan klaim identitas yang memecah.
Pada akhirnya, Surabaya bukan milik satu suku atau kelompok. Surabaya milik semua warganya mereka yang telah berjuang melewati pandemi, mereka yang menjaga gotong royong tetap hidup, dan mereka yang memastikan kota ini terus damai, tertib, dan inklusif.
Dengan memperkuat kembali nilai kebersamaan, Surabaya akan tetap menjadi kota modern yang rukun, humanis, dan anti-perpecahan. Kota yang memuliakan keberagaman, menolak rasisme dalam bentuk apa pun, dan menjunjung tinggi ketertiban melalui hukum yang adil.
*)Oleh: Moh. Syafi’i, warga Surabaya
Editor : Redaksi