JAKARTA — XXY (2007) adalah film yang berani membicarakan hal yang sering dihindari: identitas diri. Disutradarai Lucía Puenzo, film asal Argentina ini menyentuh tema interseksualitas dengan cara yang lembut tapi dalam.
Cerita berpusat pada Alex (Inés Efron), remaja 15 tahun yang terlahir dengan kromosom ganda XXY. Secara fisik, ia memiliki ciri laki-laki dan perempuan sekaligus. Bersama orang tuanya, Alex tinggal di pinggir laut Uruguay untuk hidup lebih tenang, jauh dari stigma.
Baca Juga: V for Vendetta (2005): Saat Topeng Jadi Simbol Perlawanan
Ketenangan itu berubah saat keluarga teman lama ayahnya datang berkunjung. Di sana, Alex bertemu Álvaro, anak laki-laki dari tamu tersebut. Dari pertemuan itu, muncul perasaan yang rumit, antara keingintahuan, ketertarikan, dan kebingungan identitas.
Puenzo mengarahkan film ini tanpa sensasi. Ia menyorot Alex bukan sebagai “kasus medis”, tapi manusia yang ingin dimengerti. Kamera bergerak pelan, banyak diam, membiarkan penonton merasakan kebingungan yang sama seperti tokohnya.
Baca Juga: Meat Grinder (2009): Ketika Luka Jiwa Berubah Jadi Sajian Mengerikan
Tema yang diangkat memang berat, tapi penyampaiannya justru penuh empati. XXY menunjukkan bagaimana keluarga berjuang menerima kenyataan, sekaligus melindungi anak mereka dari dunia yang mudah menghakimi.
Film ini bukan soal pilihan menjadi laki-laki atau perempuan, tapi tentang keberanian untuk tetap jadi diri sendiri. Tentang ruang aman bagi seseorang yang tubuh dan jiwanya tidak sesuai dengan kotak sosial yang sempit.
Baca Juga: Merantau (2009): Dari Tradisi ke Aksi, Saat Rantau Jadi Ajang Pembuktian Diri
Dengan sinematografi yang sunyi dan akting natural, XXY terasa jujur dan manusiawi. Ia bukan film yang menggurui, melainkan yang mengajak kita menatap lebih lama lalu memahami bahwa identitas bukan cuma label, tapi perjalanan.
Editor : Redaksi