JAKARTA — Assassination Games (2011) mempertemukan dua aktor laga legendaris: Jean-Claude Van Damme dan Scott Adkins. Keduanya bukan hanya beradu otot, tapi juga beradu prinsip dalam film aksi bergaya klasik yang digarap sutradara Ernie Barbarash.
Cerita dimulai dengan Vincent Brazil (Van Damme), seorang pembunuh bayaran dingin dan profesional. Ia hidup sendiri, bekerja cepat, dan tak pernah mencampur urusan pribadi.
Baca juga: The Village: Ketika Ketakutan Jadi Bahasa Kekuasaan
Sementara di sisi lain, ada Roland Flint (Adkins), mantan pembunuh yang pensiun setelah istrinya koma karena ulah gembong narkoba kejam, Polo Yakur.
Kedua pria ini kemudian disatukan oleh takdir, mereka menerima target yang sama. Brazil menganggap ini cuma pekerjaan, sedangkan Flint melihatnya sebagai kesempatan balas dendam. Dari sinilah ketegangan dan dilema moral mulai muncul.
Film ini menawarkan aksi keras khas era 2000-an: pistol, ledakan, dan adegan perkelahian cepat tanpa banyak efek komputer.
Baca juga: The Village: Ketika Ketakutan Jadi Bahasa Kekuasaan
Tapi di balik itu, Assassination Games juga mencoba menyentuh sisi manusiawi dua tokohnya tentang kehilangan, kesepian, dan rasa bersalah yang tak bisa ditebus.
Van Damme tampil tenang tapi tajam, menahan emosi dengan sorot mata dingin yang jadi ciri khasnya.
Sementara Adkins membawa energi muda dan kemarahan yang membara. Kontras keduanya justru membuat film ini hidup, meski naskahnya sederhana.
Baca juga: XXY (2007): Saat Identitas Tak Lagi Hitam Putih
Secara teknis, film ini tidak menawarkan kejutan besar. Plotnya cukup bisa ditebak, tapi eksekusinya solid. Aksi yang realistis dan atmosfer kelam membuat Assassination Games tetap menarik bagi penggemar film laga sejati.
Film ini bukan cuma tentang siapa yang lebih kuat, tapi tentang siapa yang masih punya nurani di dunia yang penuh darah dan dendam. Kadang, satu-satunya peluru yang benar-benar mematikan adalah rasa bersalah itu sendiri.
Editor : Redaksi