Fenomena Lavender Marriage Ketika Pernikahan Jadi Topeng Sosial

Ilustrasi, pixabay
Ilustrasi, pixabay

SURABAYA - Hai, sobat tikta! Pernikahan pada umumnya dipandang sebagai ikatan cinta antara dua orang yang saling mencintai. Namun, ada sebuah fenomena menarik yang disebut lavender marriage, yang menyatakan bahwa tidak semua pernikahan terjadi karena cinta. 

Lavender marriage adalah pernikahan antara seorang pria dan wanita yang dilakukan untuk menutupi orientasi seksual atau identitas gender salah satu atau kedua pasangan. 

Baca Juga: Kenalkan Aneka Kuliner Pemkot Surabaya Sulap SWK Manukan Lor Tempat Resepsi Pernikahan

Meskipun jarang dibicarakan, fenomena ini memiliki sejarah panjang dan masih berpengaruh di era modern, meski dengan berbagai perubahan.

Apa Itu Lavender Marriage?

Istilah lavender marriage pertama kali digunakan pada abad ke-20 untuk menggambarkan pernikahan yang dilakukan bukan karena cinta atau komitmen, tetapi untuk menutupi orientasi seksual atau identitas gender seseorang, khususnya dalam konteks dunia hiburan atau politik. 

Pada masa itu, orientasi seksual yang berbeda dari norma heteroseksual sering kali dianggap tabu dan dapat menghancurkan karier atau reputasi seseorang. Pernikahan semacam ini biasanya terjadi di kalangan individu LGBTQ+, yang terpaksa menikah dengan lawan jenis untuk menjaga citra mereka tetap “normal” di mata masyarakat. Seringkali, ini bukan pilihan pribadi, melainkan sebuah bentuk perlindungan dari diskriminasi atau ekspektasi sosial yang tinggi.

Sejarah Lavender Marriage

Pada awal abad ke-20, terutama pada masa Keemasan Hollywood (1920-an hingga 1950-an), fenomena lavender marriage berkembang pesat. Banyak selebriti terkenal yang terpaksa menikah untuk melindungi status mereka di industri hiburan. 

Misalnya, aktor atau aktris yang diketahui memiliki orientasi seksual sesama jenis memilih untuk menikah dengan lawan jenis sebagai cara untuk menutupi kenyataan tersebut dan menghindari dampak buruk bagi karier mereka. Bahkan, beberapa pasangan terikat dalam pernikahan palsu hanya untuk menciptakan citra heteroseksual yang lebih diterima di masyarakat. 

Begitu juga dengan politisi dan tokoh masyarakat lainnya, yang merasa bahwa pernikahan heteroseksual adalah cara untuk menjaga kehormatan dan citra publik mereka. Sebagai contoh, di beberapa negara, terutama di Eropa dan Amerika Serikat, lavender marriage menjadi cara untuk melindungi diri dari skandal yang dapat merusak karier dan kehidupan pribadi.

Mengapa Lavender Marriage Terjadi?

Ada beberapa alasan mengapa seseorang memilih menjalani lavender marriage, baik di masa lalu maupun sekarang:

1. Tekanan Sosial dan Budaya

Baca Juga: Warna Ungu Dibalik Stereotip dan Stigma Sosial terhadap Janda

Di banyak budaya, termasuk di Indonesia, ada tekanan besar untuk menjalani pernikahan heteroseksual sebagai bagian dari norma sosial. Hal ini menyebabkan individu yang memiliki orientasi seksual atau identitas gender berbeda merasa terpaksa untuk menikah dengan lawan jenis demi mendapatkan penerimaan sosial.

2. Karier dan Reputasi

Banyak orang, terutama di dunia hiburan dan politik, yang merasa bahwa mengungkapkan orientasi seksual mereka dapat merusak karier atau merugikan citra publik mereka. Dalam industri seperti Hollywood, misalnya, pernikahan heteroseksual bisa menjadi cara untuk melindungi diri dari ancaman diskriminasi atau penurunan popularitas.

3. Ekspektasi Keluarga

Terutama di masyarakat yang sangat konservatif, pernikahan dianggap sebagai kewajiban sosial dan agama. Keluarga sering kali mengharapkan anak-anak mereka untuk menikah dan memiliki keturunan. Bagi individu LGBTQ+, ini bisa menjadi alasan kuat untuk menjalani lavender marriage, meskipun itu bukanlah pilihan pribadi mereka.

Dampak Psikologis dan Sosial

Meskipun bisa tampak seperti solusi sementara, lavender marriage sering kali membawa dampak negatif, baik secara psikologis maupun sosial. Menjalani kehidupan ganda dan menyembunyikan identitas diri bisa menimbulkan stres, kecemasan, dan depresi. 

Baca Juga: Launching Pengurus Baru, Ansor Jatim Lebih Inklusif, Siap Berdedikasi Kemajuan Ekonomi dan Sosial

Banyak individu yang terjebak dalam pernikahan semacam ini merasa terasing dari pasangan mereka karena hubungan yang dibangun tidak berdasarkan cinta atau kejujuran. 

Dari perspektif sosial, pernikahan semacam ini juga bisa menciptakan ketegangan antara individu dengan keluarga, teman, atau kolega yang mungkin mengetahui kenyataan tersebut. 

Dalam beberapa kasus, ini juga dapat memperburuk stigma terhadap individu LGBTQ+ di masyarakat. Lavender marriage adalah fenomena yang berakar dari tekanan sosial dan budaya yang menuntut individu untuk mengikuti norma heteroseksual. 

Meskipun di era modern kita telah melihat adanya perubahan besar, dengan semakin banyak negara yang mengakui hak-hak LGBTQ+, lavender marriage masih tetap ada di beberapa kalangan yang terjebak dalam tradisi dan ekspektasi sosial. 

Sebagai masyarakat yang lebih terbuka dan inklusif, penting bagi kita untuk menciptakan ruang bagi setiap individu untuk hidup sesuai dengan identitas mereka tanpa rasa takut akan diskriminasi atau penilaian negatif.

Dengan begitu, kita bisa mencapai dunia di mana pernikahan dan hubungan didasarkan pada cinta dan kejujuran, tanpa ada yang perlu tersembunyi.

Editor : Redaksi