SURABAYA – Guna mencegah terjadinya kasus keracunan siswa penerima program Makanan Bergizi Gratis (MBG), Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya resmi membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pelaksanaan Program MBG.
Pembentukan Satgas ini tertuang dalam Keputusan Wali Kota Nomor 100.3.3.3/195/436.1.2/2025 tertanggal 20 Agustus 2025.
Baca Juga: Machmud Soroti Dugaan Pelanggaran Pasar Tanjung Sari dan Koblen, Desak Pemkot Tindak Tegas
Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, menyambut baik langkah tersebut. Ia menilai selain adanya Satgas, Pemkot juga perlu memastikan para vendor MBG memiliki sertifikasi laik higiene dan sanitasi.
“Secara umum apa yang disyaratkan wali kota sudah tepat, yakni vendor MBG wajib memiliki sertifikasi laik higiene dan sanitasi, serta didukung tenaga profesional dan berpengalaman di bidang katering,” ujar pria yang akrab disapa Cak Yebe, pada Selasa (30/9).
Namun, ia menekankan pentingnya peran Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) agar pelaksanaan di lapangan berjalan sesuai standar operasional prosedur (SOP).
“SPPI jangan tutup mata jika ada ketidaksesuaian atau indikasi pelanggaran. Mereka harus berintegritas, independen, mampu mengatur distribusi logistik, melakukan pengawasan, sekaligus memberikan edukasi gizi. Tujuannya agar anak-anak menerima makanan bergizi, aman, dan tepat waktu,” tegasnya.
Menurut Cak Yebe, Pemkot juga perlu belajar dari berbagai persoalan program MBG di daerah lain. Karena itu, ia mendorong pengawasan melibatkan Dinas Kesehatan melalui puskesmas, serta tenaga psikologi dari perguruan tinggi maupun instansi terkait.
“Puskesmas bisa memantau kesehatan siswa penerima MBG, sementara psikolog dapat mengawasi perkembangan mental dan psikologis mereka. Pemkot dapat bekerja sama dengan fakultas psikologi atau pendidikan dari universitas negeri maupun swasta,” sarannya.
Baca Juga: Warga Dukuh Pakis Keberatan, Yayasan Ina Makmur Siap Relokasi Dapur SPPG
Ia bahkan menceritakan pengalamannya saat melakukan uji coba program MBG secara mandiri di SDN Kedurus 1 dengan melibatkan 330 siswa, tenaga medis, dan akademisi. Dari pengalaman tersebut, ia menekankan pentingnya evaluasi rutin.
“Jika diterapkan di Surabaya, lakukan kunjungan rutin minimal sekali seminggu secara acak untuk mengevaluasi perkembangan siswa penerima manfaat,” imbuh legislator Fraksi Gerindra tersebut.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa kasus dugaan keracunan MBG di sejumlah daerah umumnya dipicu lemahnya sistem pengawasan.
“Permasalahan bisa muncul dari banyak faktor, tapi semuanya bermuara pada lemahnya pengawasan. Itu seharusnya menjadi tanggung jawab SPPI,” tandasnya.
Baca Juga: Penduduk Surabaya Tembus 3 Juta, Komisi A DPRD Dorong Pemekaran Dapil
Oleh sebab itu, cak Yebe menegaskan perlunya evaluasi terbuka dan penerimaan masukan dari masyarakat agar pelaksanaan program di Surabaya tidak mengalami kendala serupa.
“Mumpung belum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di Surabaya, mari kita lakukan evaluasi sejak awal dan terbuka terhadap kritik maupun masukan,” ujarnya.
Cak Yebe pun berharap program MBG di Surabaya tidak hanya dipandang dari sisi anggaran semata, melainkan benar-benar mampu mewujudkan tujuan utamanya: memastikan kecukupan gizi anak-anak.
“Program ini bukan sekadar bicara anggaran fantastis, tetapi tentang mencetak generasi emas Indonesia yang sehat, cerdas, dan berdaya saing,” pungkasnya.
Editor : Redaksi