Kasus Dugaan Korupsi Gedung Setda Rugikan Negara Rp26 Miliar, Kejari Cirebon Tahan Enam Tersangka

Reporter : M. Farhan
Kejari Cirebon tetapkan enam tersangka dalam dugaan kasus korupsi gedung Setda kota Cirebon

CIREBON – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon menetapkan sekaligus menahan enam tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung Sekretariat Daerah (Setda) Kota Cirebon, Rabu (27/8). Dari hasil penyidikan, kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp26 miliar berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Selain itu, tim penyidik Kejari juga berhasil mengamankan barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp788 juta.

Baca juga: Unjuk Rasa, Warga Desa Indrakila Tuntut Kades Mundur

Enam tersangka tersebut masing-masing yakni IW, mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) yang kini menjabat Kepala Dispora Kota Cirebon; BR, mantan Kepala DPUTR sekaligus pengguna anggaran tahun 2017 (pensiunan ASN); PH, mantan PPTK DPUTR (pensiunan ASN); HM, konsultan pengawas PT Bina Karya; RA, mantan Kepala Cabang Bandung PT Bina Karya selaku perencana teknis; serta FRB, mantan Direktur PT Rivomas Pentasurya.

Kepala Seksi Intelijen Kejari Kota Cirebon, Slamet Haryadi, menjelaskan tindak pidana korupsi tersebut terjadi karena hasil pembangunan tidak sesuai spesifikasi dan gambar dalam kontrak.

Baca juga: Pemkab Majalengka Komitmen Gempur Rokok Ilegal, Ajak Insan Media Sosialisasi dan Pencegahan

“Korupsi ini menimbulkan kerugian keuangan negara sekitar Rp26 miliar. Dari hasil penyidikan, tim juga menyita uang Rp788 juta,” ujar Slamet dalam jumpa pers.

Ia menambahkan, para tersangka dijerat Pasal 2, 3, dan 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 KUHP. Adapun nilai kontrak pembangunan gedung tersebut tercatat sebesar Rp86 miliar.

Baca juga: Harlah ke-27 PAN, Rona: Lanjutkan Perjuangan Pembangunan untuk Tingkatkan Kesejahteraan Majalengka

“Modus yang dilakukan para tersangka antara lain mengurangi kualitas dan kuantitas bangunan untuk memperoleh keuntungan lebih. Selain itu, ada pencairan dana yang tidak sesuai ketentuan serta mark up pekerjaan yang seharusnya belum selesai tetapi dianggap selesai,” ungkapnya.

Editor : Redaksi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru