JAKARTA - Ada kalanya sejarah tak datang sebagai deretan tanggal dan peristiwa besar. Ia datang sebagai kehilangan, lapar, dan duka di ruang makan keluarga. Dalam “To Live” (Huo Zhe), sutradara Zhang Yimou merangkai potret getir kehidupan manusia biasa yang harus terus hidup, bahkan ketika segalanya diambil oleh zaman. Sebuah drama yang begitu personal sekaligus politis, menggedor kesadaran lewat kesahajaan.
Pengenalan Tokoh dan Latar
Baca Juga: Ketakutan yang Menggerogoti, Teror Psikologis dalam “Bunker”
Xu Fugui (Ge You) adalah pria kaya dari keluarga tuan tanah di Tiongkok tahun 1940-an. Ia boros, kecanduan judi, dan akhirnya membuat keluarganya jatuh miskin. Dalam titik terendah, Fugui menemukan arah hidup baru sebagai pemain wayang kulit keliling, ditemani istrinya yang setia, Jiazhen (Gong Li), dan dua anak mereka.
Namun, kemiskinan bukanlah tantangan terbesar mereka. Gelombang sejarah Tiongkok menghantam: perang saudara, naiknya Partai Komunis, Lompatan Jauh ke Depan, hingga Revolusi Kebudayaan. Di tengah semuanya, Fugui tak lagi memikirkan kemewahan—ia hanya ingin satu hal: bertahan.
Konflik dan Perjalanan
“To Live” tak menampilkan konflik dalam bentuk letusan senjata atau kudeta besar. Justru kekuatannya ada pada tragedi kecil yang menghancurkan pelan-pelan. Seorang anak yang mati karena kesalahan sistem rumah sakit. Seorang ayah yang harus menyerahkan anaknya pada militer. Seorang ibu yang menyaksikan semua itu dalam diam dan tangis.
Ketika peraturan berubah, orang biasa tak bisa melawan. Mereka hanya bisa bertahan. Tapi justru dari situ, Zhang Yimou menunjukkan kekuatan yang paling manusiawi: keteguhan hati.
Karakter dan Transformasi
Baca Juga: “High-Rise” Ketika Langit Tinggi Menyimpan Kekacauan di Dalamnya
Fugui berubah dari pria arogan menjadi sosok yang sabar dan penuh kasih. Ia bukan pahlawan revolusi, tapi pahlawan keluarga. Jiazhen, dengan kesetiaannya yang tenang, menjadi jantung emosional film. Keduanya bukan orang luar biasa—mereka hanyalah representasi dari jutaan rakyat biasa yang harus hidup di bawah bayang-bayang sejarah besar.
Resolusi dan Konklusi
Film ini tak menawarkan akhir yang indah. Tapi di balik luka dan kehilangan, ada secercah harapan: bahwa manusia bisa terus hidup, meski hancur berkali-kali. Dan dalam bertahan, ada bentuk perlawanan yang sunyi namun kuat.
“To Live” ditutup dengan kehidupan yang kembali tenang, bukan karena keadaan membaik, tapi karena keluarga kecil itu telah belajar menerima dan terus berjalan.
Baca Juga: “High-Rise” Ketika Langit Tinggi Menyimpan Kekacauan di Dalamnya
Pesan Moral
“To Live” adalah pelajaran tentang ketabahan. Tentang bagaimana kekuatan tidak selalu datang dari senjata atau jabatan, tapi dari keberanian sehari-hari untuk tetap bangun, bekerja, dan mencintai—meski hari kemarin penuh luka. Bahwa hidup, pada akhirnya, bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang bertahan.
Film ini tak hanya pantas diapresiasi sebagai karya sinematik, tapi juga sebagai dokumen kemanusiaan. Menonton “To Live” adalah menelusuri sejarah melalui air mata, tetapi juga menemukan makna bahwa hidup tetap harus dijalani.
Editor : Redaksi