Ketahanan Keluarga: Memperkokoh Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Achmad Sjafii
Achmad Sjafii

SURABAYA - Sebagai unit ekonomi terkecil, peran dan kontribusi keluarga dalam kehidupan bernegara memang tidak dapat dipandang remeh. Keberadaan unit keluarga memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan ekonomi anggotanya, sebagai pencarian nafkah, mengelola keuangan, hingga pemenuhan kebutuhan primer harian seperti sandang, pangan, dan papan. 

Namun, pemenuhan kebutuhan sekunder tidak kalah pentingnya sebagai perisai individu dan keluarga yakni pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan relaksasi seperti olah raga dan rekreasi bersama keluarga.

Baca Juga: Urgensi Hijrah Dari Budaya Korupsi Menuju Budaya Anti Korupsi (Refleksi 1 Muharram 1447 H)

Pemenuhan kebutuhan keluarga baik primer maupun sekunder dapat bermuara pada kuatnya ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga yang kuat menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, sementara pembangunan ekonomi yang stabil dapat mendukung ketahanan keluarga. 

Ketahanan keluarga ini dapat menghindarkan dari (a) potensi kemiskinan yang terkait dengan tujuan nomor 1 dari SDGs; (b) potensi kelaparan; dan (c) buruknya kualitas pendidikan, masing-masing terkait dengan tujuan nomor 2 dan nomor 4 dari SDGs.

Aspek ekonomi menjadi salah satu pilar yang cukup vital dalam ketahanan keluarga. Keluarga dengan ketahanan ekonomi yang kuat juga cenderung memiliki akses ke fasilitas yang lebih baik, seperti perumahan yang layak dan fasilitas kesehatan yang memadai (Equere, 2020). Dengan kondisi ketahanan ekonomi yang baik memungkinkan keluarga dapat memenuhi kebutuhan baik primer maupun sekunder.  

Ketahanan ekonomi keluarga yang kokoh dapat menghindarkan dari kemiskinan dan kekurangan gizi. Dalam banyak kajian kekurangan gizi yang berdampak pada meningkatnya angka stunting dipicu oleh kondisi ekonomi keluarga yang kurang memadai (Rachel et al., 2020). Lebih dari itu, dari sisi demografi, rapuhnya ketahanan ekonomi keluarga seringkali menjadi pintu masuk terjadinya pernikahan usia dini atau pernikahan anak.

Merujuk data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Indonesia menempati peringkat ke-10 pernikahan anak tertinggi di dunia. Lima (5) provinsi dengan pernikahan anak tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Kalimantan Selatan (12,52%); Jawa Barat (11,48%); JawaTimur (10,85%); Sulawesi Barat (10,05%); dan Kalimantan Tengah (9,85%): (BPS, 2021).

Pernikahan anak meningkatkan potensi perempuan memiliki anak banyak karena periode usia subur semakin panjang. Hal ini mempertinggi potensi jumlah anak yang dilahirkan (Total Fertility Rate/TFR). TFR merupakan indikator demografi strategis untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Hampir semua provinsi di Indonesia memiliki karakteristik yang sama, yakni semakin tinggi TFR akan berdampak pada kinerja ekonomi yang semakin menurun. 

Di Indonesia, salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu (AKI) maupun angka kematian bayi (AKB) adalah disebabkan oleh prevalensi pernikahan anak. Semakin tinggi pernikahan anak berpotensi meningkatkan resiko AKI dan AKB. Padahal baik AKI maupun AKB merupakan tujuan ke-3 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Baca Juga: Epitaf untuk RKH Taufik Hasyim, Ulama Patriotik Sang Pendiri NABRAK

Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah ukuran penting dalam kesehatan masyarakat yang menggambarkan mutu layanan kesehatan bagi ibu dan anak serta daya tahan keluarga. Tingginya prevalensi AKI dan AKB menandakan adanya kendala dalam akses dan mutu layanan kesehatan, serta kondisi sosial ekonomi keluarga yang tidak memperlihatkan dukungan yang memadai.

Prevalensi AKI dan AKB yang tinggi lebih banyak terdapat di wilayah pedesaan pesisir dengan penduduk yang berstatus miskin dan berpendidikan rendah. Mereka yang menikah dengan usia relatif rendah umumnya berasal dari keluarga miskin. Tidak sedikit diantara mereka yang menikah ”di bawah tangan” dengan tujuan untuk melepaskan beban keluarga. Inil salah satu faktor yang memberikan sumbangan proses pemiskinan dan memperparah ”lingkaran perangkap kemiskinan”.

Fenomen ini banyak dijumpai pada strata masyarakat dengan status pendidikan dan ekonomi “menengah-kebawah” di wilayah pedesaan. Bila terjadi ketidakcocokan atau ketidakserasian pada pernikahan tersebut yang berujung pada perceraian. Seperti dapat diduga perceraian ini akan lebih banyak merugikan pihak perempuan. Pemiskinan terhadap pihak perempuan dalam kasus seperti ini tidak hanya menimpa perempuan, terutama karena kehilangan sumber keuangan, bahkan statusnya yang telah menjadi janda.

Lebih dari itu, anak yang terlahir juga akan mengalami pemiskinan sosial. Ekonomi yang sulit menyebabkan ketiadaan dana untuk menyekolahkan anak. Sebagai akibat perkawinan anak, kelompok ini berpotensi untuk bercerai lebih tinggi. Akibatnya hal ini banyak menyengsarakan kaum perempuan dan anak-anak. 

Ketahanan keluarga khususnya aspek pendidikan kependudukan bepengaruh kuat terhadap pendewasaan usia pernikahan anak. Peluang akan lebih terbuka bagi perempuan yang mengenyam pendidikan menengah-tinggi membawa konsekuensi untuk tidak segera memasuki jenjang perkawinan. 

Baca Juga: HIPMI Jatim Dukung Porprov IX, Dorong UMKM dan Wirausaha Muda Tumbuh di Kota Batu

Semakin tinggi jenjang pendidikan, makin terbuka kesempatan bagi perempuan berpartisipasi dalam pasar kerja. Hal ini merupakan window opportunity bagi perempuan untuk memasuki kehidupan keluarga yang sejahtera. Dalam konteks makro ekonomi fenomena pendewasaan pernikahan sekaligus menunda mempunyai anak melalui pendidikan dikenal dengan nama beyond family planning.

Oleh karenanya salah satu strategi mereduksi angka kemiskinan dan prevalensi stunting dapat dilalukan melalui pendewasaan usia perkawinan. Penegakan aturan maupun regulasi formal dirasakan masih belum menjadi obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan ini. 

Kiranya dengan memperbesar alokasi dan distribusi anggaran serta prasarana pendidikan dan kesehatan secara proporsional diyakini akan dapat mendewasakan usia pernikahan. Meskipun hal ini memerlukan waktu, namun capaian hasilnya akan dapat dirasakan dalam mengokohkan ketahanan keluarga.

*) Oleh: Achmad Sjafii, Ketua Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) Cabang Jawa Timur, Dosen Universitas Airlangga

Editor : Redaksi