8 Akar Seseorang Jadi Manipulatif dan Sulit Berubah

Ilustrasi
Ilustrasi

JAKARTA - Sikap manipulatif, pura-pura baik, atau anti evaluasi bukan muncul begitu saja. Ada akar yang lebih dalam, dan biasanya tak kasat mata.

Di permukaan, dia tampak percaya diri, licin dalam berargumen, bahkan kadang disukai karena kepiawaiannya “membaca situasi”. Tapi di balik itu, tersimpan pola pikir dan pengalaman yang membentuk mereka jadi sosok yang sulit berubah, apalagi menyadari kesalahannya sendiri.

Baca Juga: Toxic Femininity Ketika Air Mata Menjadi Alat Manipulasi

Sahabat Tikta berikut kami ulaskan delapan faktor yang sering menjadi penyebabnya:

1. Kurang Kenal Diri Sendiri 

Banyak orang terlihat tangguh di luar, tapi sebenarnya tidak punya kejelasan soal siapa dirinya. Dia tidak sadar bagaimana sikapnya berdampak ke sekitar. Tanpa kesadaran diri, mereka sulit menangkap sinyal bahwa tindakannya menyakiti orang lain. Dan jika tak merasa bersalah, tentu tidak akan merasa perlu berubah.

2. Ingin Mengendalikan Segalanya

Menginginkan kontrol atas situasi dan orang lain, sehingga menggunakan manipulasi untuk mencapai tujuan. Sebab, bagi dia, relasi bukan ruang tumbuh bersama, tapi medan kuasa. Kontrol menjadi tujuan utama dan manipulasi adalah alat yang dipakai untuk mencapainya. Dia pandai mengatur cerita, memainkan emosi orang lain, bahkan menciptakan citra palsu demi mempertahankan posisi dominan. Perubahan dianggap ancaman, karena bisa mengganggu sistem yang sudah mereka kuasai.

3. Tidak Punya Empati

Ketika seseorang tidak bisa (atau tidak mau) merasakan apa yang dirasakan orang lain, batas moral jadi kabur. Dia bisa menyakiti tanpa merasa bersalah. Dalam dunia kerja, ini sering terlihat pada orang yang menghalalkan segala cara untuk naik jabatan, tanpa peduli siapa yang harus dikorbankan.

4. Pernah Disakiti, Lalu Belajar Membalas dengan Cara Licik

Trauma masa lalu bisa jadi fondasi dari perilaku manipulatif. Dia pernah merasa dikendalikan, ditinggalkan, atau dihancurkan secara emosional, dan kini mereka memutar peran: dari korban menjadi pengendali. Manipulasi dijadikan pelindung agar tidak disakiti lagi. Ironisnya, luka lama itulah yang membuat dia melukai orang lain.

Baca Juga: Bahayanya Sikap Seseorang yang Suka Bersandiwara: Antara Akun Fake dan Kenyataan Palsu

5. Tidak Tumbuh dengan Nilai Moral yang Kuat

Tanpa bekal nilai moral dan etika yang konsisten sejak dini, seseorang tidak tahu mana yang benar dan mana yang manipulatif. Mereka tidak merasa bersalah saat berbohong, membelokkan fakta, atau mengatur orang lain demi kepentingannya sendiri. Mereka melihat hidup sebagai permainan strategi, bukan ruang etika.

6. Lingkungan yang Membenarkan Manipulasi

Jika seseorang tumbuh atau bekerja di lingkungan yang memuji kelicikan, yang memberi panggung pada drama dan kepalsuan, maka manipulasi dianggap normal. Bahkan bisa menjadi standar sukses. Di sinilah bahaya budaya: ketika kebusukan dianggap cerdas, dan kejujuran dianggap bodoh.

7. Haus Validasi, Tapi Takut Ditolak

Ada kalanya orang manipulatif bukan karena jahat, tapi karena ketakutan ditolak. Dia butuh pengakuan, tapi tidak percaya diri untuk mendapatkannya secara jujur. Maka dia menyusun citra yang disukai, membangun topeng, bahkan menciptakan versi dirinya yang tidak nyata. Mereka terus mencari pujian, tapi tak pernah merasa cukup.

Baca Juga: Fenomena Sok Mandiri, Antara Manipulasi, Gengsi, dan Tekanan Sosial di Era Modern

8. Tak Tahu Cara Mengelola Emosi

Saat marah, kecewa, atau cemas, dan bicara jujur, mereka justru memutar balik fakta, menyalahkan orang lain, atau menciptakan drama untuk mengalihkan isu. Ini terjadi karena dia tidak terbiasa memproses emosi secara sehat. Manipulasi jadi cara cepat untuk menghindari konflik, walaupun justru menciptakan konflik yang lebih rumit.

Kenapa Ini Perlu Dipahami?

Karena kita semua bisa terjebak di dua sisi: sebagai korban, atau tanpa sadar sebagai pelaku. Memahami faktor-faktor ini bukan untuk membenarkan perilaku manipulatif, tapi untuk melihat bahwa perubahan itu mungkin asal seseorang mau jujur pada diri sendiri, dan cukup berani untuk menghadapi kenyataan: bahwa cara lama yang penuh kepalsuan tak bisa dibawa terus.

Dan bagi yang jadi korban, pemahaman ini bisa menjadi awal untuk menarik diri, melindungi batas, dan menyadari bahwa bukan tugas kita untuk “menyembuhkan” orang lain yang menolak berubah.

Editor : Redaksi