SURABAYA - Halo Sahabat Tikta, pernah dengar istilah toxic masculinity tapi bingung sebenarnya apa maksudnya? Istilah ini sering muncul di pembicaraan tentang gender, kesehatan mental, dan hubungan sosial. Yuk, kita pelajari bersama supaya kita lebih paham dan bisa mengenali dampaknya.
Apa Itu Toxic Masculinity?
Baca Juga: Toxic Positivity: Saat Kalimat ‘Kamu Kuat Kok’ Malah Bikin Capek
Toxic masculinity bukan berarti maskulinitas itu salah. Maskulinitas adalah sifat, perilaku, dan peran yang biasanya diasosiasikan dengan laki-laki. Namun, toxic masculinity adalah bentuk ekstrem yang berbahaya, dimana laki-laki merasa harus selalu kuat, dominan, dan menekan perasaan seperti kesedihan atau kelembutan.
Jadi, toxic masculinity adalah tekanan sosial yang membuat laki-laki menolak sisi emosionalnya demi memenuhi standar “jantan” yang sempit dan kadang menyakitkan.
Ciri-Ciri Toxic Masculinity
1. Tidak Boleh Menangis atau Menunjukkan Kelemahan
Laki-laki yang menangis atau sedih dianggap lemah dan tidak “jantan.”
2. Harus Selalu Dominan dan Kuat
Merasa wajib memegang kendali dalam segala situasi dan tidak boleh kalah.
3. Menghindari Sifat atau Aktivitas yang Dianggap ‘Perempuan’
Misalnya, laki-laki yang tidak mau melakukan pekerjaan rumah atau menunjukkan perasaan lembut.
4. Menggunakan Kekerasan sebagai Cara Menyelesaikan Masalah
Baca Juga: Toxic Friendship: Kapan Harus Melepaskan Diri dari Teman yang Merugikan
Marah dan agresif dianggap cara yang tepat untuk menunjukkan kekuatan.
5. Selalu Kompetitif dan Tidak Mau Tampil ‘Lemah’
Merasa harus selalu menang dan tidak mau mengakui kesalahan.
Contoh Toxic Masculinity dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Pria yang malu atau merasa tidak pantas untuk menangis saat sedih.
2. Laki-laki yang memaksakan pendapat dan tidak mau mendengarkan orang lain, takut dianggap lemah.
Baca Juga: Apa Itu Toxic? Penjelasan Lengkap tentang Pengaruh Negatif dalam Kehidupan
3. Sikap meremehkan perempuan dan menganggap remeh pekerjaan rumah tangga karena dianggap “bukan urusan laki-laki.”
4. Tekanan sosial agar laki-laki selalu jadi pencari nafkah dan tidak boleh mengurus anak atau rumah.
Kenapa Kita Harus Tahu Ini?
Toxic masculinity tidak hanya merugikan perempuan, tapi juga laki-laki sendiri. Tekanan untuk selalu kuat dan menekan emosi bisa menyebabkan stres, depresi, dan hubungan yang tidak sehat. Dengan memahami toxic masculinity, kita bisa mulai membuka ruang bagi laki-laki untuk menjadi diri mereka apa adanya kuat tapi juga bisa rapuh, tegas tapi juga lembut.
Sahabat Tikta, mengenali toxic masculinity adalah langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan nyaman untuk semua orang. Yuk, kita hargai keberagaman emosi dan cara menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi!
Editor : Redaksi