SURABAYA - Tidak semua pernikahan dipenuhi pelukan hangat, tawa bahagia, dan kalimat “aku cinta kamu” setiap pagi. Di balik undangan yang pernah tersebar, gaun pengantin yang dipuji-puji, dan ucapan selamat yang mengalir saat hari resepsi ada banyak perempuan yang kini terjebak dalam rumah yang terasa hampa. Tapi mereka tetap diam. Tetap tinggal. Tetap berperan sebagai istri.
Pertanyaannya: kenapa?
Baca Juga: 8 Alasan Mengapa Seseorang Memilih Menjadi Gundik
“Demi Anak-Anak”
Ini jawaban yang paling sering terdengar. Banyak perempuan percaya bahwa membiarkan rumah tangga tetap utuh, meskipun rapuh, adalah bentuk pengorbanan untuk anak-anak. Mereka tidak ingin anak tumbuh dalam “keluarga broken home”, meskipun nyatanya rumah itu sudah lama retak. Tapi kita jarang membahas fakta ini: anak-anak bisa merasakan ketegangan, meski tanpa suara. Mereka tahu saat ibunya menangis diam-diam. Mereka tahu saat ayah dan ibu tak lagi saling bicara.
Takut Stigma “Perempuan Gagal”
Di masyarakat kita, status menikah sering dijadikan tolok ukur keberhasilan perempuan. Perempuan yang bercerai kerap dicap “tak bisa menjaga rumah tangga”, seolah seluruh beban pernikahan ada di pundaknya. Ketika pernikahan gagal, maka yang salah bukan sistem, bukan suami yang abai, bukan relasi yang tidak sehat tapi *perempuannya*. Label “perempuan gagal” membuat banyak istri bertahan dalam luka, demi mempertahankan citra sosial.
Mandiri Tapi Tak Bebas
Baca Juga: Diduga Habisi Istri, Pria Ini Terancam Hukuman 15 Tahun
Bahkan perempuan yang punya pekerjaan, gaji tetap, atau pencapaian karier tinggi pun sering kali masih terjebak. Kenapa? Karena kemandirian ekonomi tidak otomatis berarti kemerdekaan emosional. Ada rasa bersalah, ada pertanyaan “bagaimana nanti?”, ada tekanan dari keluarga besar, atau bahkan kekhawatiran dianggap egois. Perempuan diajarkan untuk memelihara, bukan meninggalkan. Untuk merawat, bukan menyerah.
Takut Sendiri
Kita sering meremehkan rasa takut akan kesepian. Bagi sebagian istri, meskipun pernikahan tidak membahagiakan, kehadiran seseorang di sisi meski hanya secara fisik masih terasa lebih aman dibanding kesendirian. Ada perempuan yang lebih takut tidur sendiri di ranjang kosong, daripada menghadapi pertengkaran tanpa akhir. Dan itu bukan soal lemah, tapi tentang kebutuhan akan rasa aman yang sangat manusiawi.
Takut Tidak Ada yang Percaya
Baca Juga: Jelang Pilkada Serentak 2024 Ketua DPD PKS Pemalang Tunaikan Ibadah Umroh Bersama Istri
Perempuan yang menjadi korban kekerasan verbal atau emosional sering sulit meyakinkan orang lain tentang rasa sakitnya. Tidak ada luka fisik, tidak ada teriakan, hanya dingin yang terus-menerus. Tapi ketika ia bercerita, sering kali ia dianggap berlebihan. "Namanya juga rumah tangga," kata orang-orang. Maka ia memilih diam, karena diam terasa lebih ringan daripada menjelaskan sesuatu yang tidak dimengerti orang lain.
Tak semua istri yang bertahan itu lemah. Tapi juga tak semua yang diam itu bahagia. Kita hidup dalam masyarakat yang terlalu cepat menilai, terlalu pelit memahami.
Mungkin yang dibutuhkan perempuan bukan hanya keberanian untuk pergi, tapi juga ruang aman untuk didengar. Tempat di mana mereka tak lagi takut dicap egois saat memilih bahagia. Karena pada akhirnya, perempuan pun berhak untuk tidak sekadar bertahan. Perempuan berhak untuk hidup bukan hanya menghidupi orang lain.
Editor : Redaksi