SURABAYA – Konflik kepemilikan lahan antara warga RT 08 RW 02 Kelurahan Tambak Wedi dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kembali mencuat. Ratusan rumah warga yang telah bersertifikat hak milik (SHM) diklaim sebagai aset milik Pemkot melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
Persoalan ini mencuat dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar oleh Komisi A DPRD Surabaya. Rapat tersebut menghadirkan perwakilan dari warga, BPKAD, Bagian Hukum dan Kerjasama, serta Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, pertemuan ini berakhir buntu alias deadlock.
Baca Juga: Komisi B DPRD Surabaya Soroti Pajak Parkir Toko Modern, Usulkan Perda Inisiatif
Udin, salah satu warga yang terdampak, mengungkapkan keresahan masyarakat. Ia menyebutkan bahwa sebagian besar warga telah memiliki sertifikat tanah resmi hasil program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sejak tahun 2019.
“Warga sangat resah. Sekitar 75 persen sudah bersertifikat, sisanya masih memegang petok D. Kalau sudah bersertifikat, kok tiba-tiba diklaim sebagai aset Pemkot? Dasarnya apa?” ujar Udin dengan nada heran, pada Selasa (22/7).
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi A DPRD Surabaya, M. Saifuddin, menilai bahwa persoalan ini bukan semata konflik antara rakyat dan Pemkot, melainkan sengketa antar lembaga negara.
“Perkaranya jelas. Ini bukan rakyat lawan Pemkot, tapi Pemkot lawan BPN. Karena sertifikat itu dikeluarkan oleh BPN, bukan Pemkot. Kalau BPN menerbitkan sertifikat dan Pemkot mengklaim tanah itu sebagai aset, berarti ada benturan antar institusi negara,” tegas Saifuddin.
Hal senada disampaikan Ketua Komisi A, Yona Bagus Widiatmoko. Ia menyayangkan simpang siurnya data lapangan, terlebih karena beberapa kelurahan yang bersangkutan tidak memiliki riwayat data tanah secara lengkap.
Baca Juga: Izin Lengkap, tapi Warga Tak Diajak Bicara: Komisi B Tindaklanjuti Aduan Penghuni Apartemen CITO
“Ini sangat mengherankan. Bagaimana mungkin lurah tidak punya data riwayat tanah warganya? Ini pekerjaan rumah besar yang harus segera diselesaikan,” tegas Cak YeBe.
Sementara itu, dari pihak Pemkot Surabaya, Kepala Bidang Hukum dan Kerjasama, Rizal, menegaskan bahwa pemerintah kota tetap berpegang pada data resmi yang tercatat dalam Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah (SIMBADA).
Menurutnya, lahan yang dimaksud telah terdata sebagai aset Pemkot sejak tahun 1982, hasil dari proses tukar-menukar dengan PT TWP.
“Kami berpegang pada ketentuan hukum. Kami tidak bisa asal menyetujui sesuatu yang bisa berujung pelanggaran. Karena itu, kami akan melibatkan Kejaksaan sebagai pengacara negara untuk melakukan kajian lebih lanjut,” terang Rizal.
Baca Juga: DPRD Surabaya Bahas Persiapan SPMB 2025, Dinas Pendidikan Pastikan Sistem Siap Digunakan
Senada dengan itu, Kepala BPKAD Surabaya, Wiwiek Widayati, menyatakan bahwa Pemkot memahami keresahan warga, namun pemerintah juga memiliki kewajiban untuk mengamankan aset daerah.
“Kami memahami kegelisahan warga, tetapi pemerintah punya tanggung jawab menjaga aset milik daerah. Karena itu sejak 2020 kami sudah meminta pendampingan dari Kejaksaan,” jelas Wiwiek.
Sebagai informasi, rapat dengar pendapat ini berakhir tanpa titik temu. Komisi A DPRD Surabaya akan menjadwalkan ulang pertemuan, dengan mengundang langsung Kepala Kantor Pertanahan Surabaya untuk memberikan kejelasan terkait status lahan yang dipermasalahkan
Editor : Redaksi