JAKARTA — Di dunia yang dikuasai ketakutan, satu sosok bertopeng muncul membawa harapan. V for Vendetta (2005) bukan hanya film aksi politik, tapi kisah tentang keberanian melawan kekuasaan yang menindas.
Disutradarai James McTeigue dan diproduseri Wachowski bersaudara, film ini diadaptasi dari novel grafis karya Alan Moore.
Baca Juga: Meat Grinder (2009): Ketika Luka Jiwa Berubah Jadi Sajian Mengerikan
Ceritanya mengambil latar Inggris masa depan yang dikuasai rezim totaliter di mana rakyat diawasi, dibungkam, dan dikendalikan.
Di tengah kegelapan itu, muncullah V (diperankan Hugo Weaving), pria misterius bertopeng Guy Fawkes.
Ia meledakkan gedung parlemen dan menyerukan revolusi. Bagi pemerintah, dia teroris. Tapi bagi rakyat, dia simbol kebebasan.
Baca Juga: Merantau (2009): Dari Tradisi ke Aksi, Saat Rantau Jadi Ajang Pembuktian Diri
Kisah makin emosional ketika Evey Hammond (Natalie Portman) bertemu V. Awalnya takut, Evey perlahan memahami idealisme di balik tindakan sang pemberontak. Dari gadis penurut, ia berubah menjadi perempuan yang berani berpikir dan melawan.
Visual film ini penuh simbol: bunga merah, hujan malam, hingga topeng putih yang kini jadi ikon gerakan global. Dialognya tajam, puitis, dan mengandung kritik sosial yang relevan bahkan sampai hari ini.
V for Vendetta menantang kita untuk bertanya apa arti kebebasan jika rasa takut mengatur hidup kita? Siapa sebenarnya yang berhak mendefinisikan benar dan salah?
Baca Juga: Sila Ay Akin: Menyelami Rahasia di Balik Kehangatan Keluarga
Bukan hanya film politik, V for Vendetta merupakan refleksi tentang keberanian pribadi. Tentang bagaimana satu suara bisa mengguncang sistem, dan bagaimana topeng bisa menjadi wajah dari kebenaran yang tertindas.
Editor : Redaksi